lombokprime.com – Lima bahaya cyberbullying yang seringkali terlewatkan oleh perhatian orang tua perlu disadari betul demi melindungi generasi muda dari dampak negatif dunia digital. Di era serba digital ini, interaksi online telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak dan remaja. Sayangnya, kemudahan berinteraksi ini juga membuka celah bagi perilaku negatif seperti cyberbullying.
Meskipun banyak orang tua menyadari adanya fenomena ini, seringkali bahaya yang ditimbulkannya tidak sepenuhnya dipahami atau bahkan diabaikan. Padahal, dampak cyberbullying bisa jauh lebih dalam dan merusak daripada yang dibayangkan. Mari kita telaah lebih lanjut lima bahaya cyberbullying yang sering diabaikan oleh orang tua.
Dampak Psikologis Jangka Panjang yang Mengintai
Salah satu bahaya cyberbullying yang seringkali tidak terlihat secara kasat mata adalah dampak psikologis jangka panjang yang bisa dialami oleh korban. Tindakan perundungan di dunia maya, seperti penyebaran rumor, penghinaan, atau ancaman, dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam. Korban mungkin mengalami kecemasan berlebihan, depresi, bahkan hingga pemikiran untuk bunuh diri.
Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat, remaja yang menjadi korban bullying, termasuk cyberbullying, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental. Studi menunjukkan bahwa efek traumatis dari cyberbullying bisa bertahan hingga dewasa, memengaruhi kemampuan seseorang untuk membangun hubungan yang sehat, meraih kesuksesan di bidang akademik maupun profesional, dan menikmati hidup secara utuh.
Orang tua mungkin melihat perubahan perilaku anak seperti menjadi lebih pendiam, menarik diri dari pergaulan, atau penurunan drastis dalam prestasi belajar. Namun, seringkali perubahan ini tidak dikaitkan dengan kemungkinan adanya cyberbullying. Padahal, mengenali tanda-tanda awal dan memberikan dukungan psikologis yang tepat sangat krusial untuk membantu anak mengatasi trauma dan mencegah dampak yang lebih serius.
Erosi Kepercayaan Diri dan Harga Diri
Cyberbullying secara sistematis menggerogoti kepercayaan diri dan harga diri korban. Serangan verbal dan emosional yang terus-menerus di dunia maya dapat membuat anak merasa tidak berharga, malu, dan rendah diri. Mereka mungkin mulai meragukan kemampuan diri sendiri, merasa tidak pantas untuk dicintai atau diterima, dan kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai.
Bayangkan seorang remaja yang terus-menerus menerima komentar negatif tentang penampilannya di media sosial. Lama kelamaan, ia bisa benar-benar mempercayai perkataan tersebut dan merasa sangat tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Dampaknya tidak hanya terbatas pada saat itu saja, tetapi juga bisa memengaruhi pandangannya terhadap diri sendiri di masa depan.
Orang tua perlu memahami bahwa membangun kembali kepercayaan diri dan harga diri yang telah hancur akibat cyberbullying membutuhkan waktu dan usaha yang besar. Mendengarkan dengan empati, memberikan dukungan tanpa menghakimi, dan membantu anak untuk fokus pada kekuatan dan kualitas positif yang dimilikinya adalah langkah-langkah penting yang perlu diambil.
Isolasi Sosial dan Kesulitan Membangun Relasi Nyata
Meskipun cyberbullying terjadi di dunia maya, dampaknya sangat nyata dalam kehidupan sosial korban. Anak yang menjadi korban cyberbullying seringkali merasa malu dan takut untuk berinteraksi dengan orang lain, baik di dunia online maupun offline. Mereka mungkin menarik diri dari teman-teman, menghindari kegiatan sosial, dan merasa sendirian meskipun berada di tengah keramaian.
Rasa malu dan takut ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti takut dihakimi oleh orang lain, takut bullying akan berlanjut di dunia nyata, atau merasa tidak aman dalam lingkungan sosialnya. Isolasi sosial ini bisa sangat berbahaya karena dapat memperburuk kondisi mental korban dan menghambat perkembangan kemampuan sosialnya.
Orang tua perlu proaktif dalam memantau interaksi sosial anak, baik di dunia maya maupun nyata. Mendorong anak untuk tetap berinteraksi dengan teman-teman yang positif, memfasilitasi kegiatan sosial yang aman dan menyenangkan, serta mengajarkan keterampilan sosial yang sehat dapat membantu anak mengatasi isolasi dan membangun kembali relasi yang positif.






