lombokprime.com – Pernahkah kamu melihat seorang anak dengan autisme yang tampak “normal” di depan umum, namun begitu sampai di rumah, mereka menunjukkan kelelahan ekstrem atau bahkan tantrum? Fenomena ini dikenal sebagai autistic masking, sebuah strategi penyesuaian diri di mana individu autis menyembunyikan karakteristik autistik mereka untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial. Ini bukan sekadar perilaku unik, melainkan sebuah perjuangan emosional dan kognitif yang intens, dan memahami mengapa anak-anak melakukannya adalah kunci untuk mendukung mereka.
Autistic Masking: Sebuah Topeng yang Melelahkan
Autistic masking, atau yang sering disebut juga sebagai “camouflaging,” adalah upaya sadar atau tidak sadar dari individu autis untuk meniru perilaku neurotipikal dan menyembunyikan ciri-ciri autisme mereka. Bayangkan, ini seperti memakai topeng sepanjang hari, setiap hari. Tujuannya beragam: menghindari stigma, merasa diterima, mendapatkan teman, atau bahkan untuk sekadar bertahan di lingkungan yang dirancang untuk mayoritas neurotipikal. Bagi anak-anak, tekanan ini bisa datang dari mana saja: sekolah, lingkungan bermain, bahkan ekspektasi keluarga yang kurang memahami.
Mengapa Anak-Anak Melakukan Masking?
Alasan di balik masking sangat kompleks dan personal bagi setiap anak, namun ada beberapa faktor umum yang sering menjadi pemicu. Memahami hal ini akan membantu kita melihat dunia dari sudut pandang mereka.
Tekanan Sosial dan Kebutuhan Diterima
Sejak usia dini, anak-anak belajar bahwa ada cara-cara “yang benar” untuk berperilaku dan berinteraksi. Anak-anak autis seringkali menyadari bahwa perilaku alami mereka, seperti stimming (gerakan berulang) atau kesulitan dalam kontak mata, dapat menarik perhatian negatif atau membuat mereka merasa berbeda. Dorongan untuk diterima oleh teman sebaya dan guru adalah motivator yang sangat kuat. Mereka mungkin mengamati dan meniru perilaku anak-anak neurotipikal, memaksa diri untuk membuat kontak mata, menahan stimming, atau memaksakan diri dalam percakapan yang terasa tidak nyaman. Ini adalah upaya untuk “melebur” ke dalam keramaian, sebuah kebutuhan dasar manusia untuk merasa memiliki.
Menghindari Stigma dan Diskriminasi
Sayangnya, stigma terhadap autisme masih sangat nyata. Anak-anak mungkin pernah mengalami ejekan, penolakan, atau perlakuan berbeda karena ciri-ciri autisme mereka. Masking menjadi mekanisme pertahanan untuk menghindari pengalaman negatif tersebut. Mereka belajar bahwa dengan menyembunyikan siapa mereka sebenarnya, mereka bisa terhindar dari penilaian atau diskriminasi. Ini adalah beban emosional yang berat bagi anak-anak, yang seharusnya bisa merasa aman menjadi diri mereka sendiri. Mereka mungkin merasa bahwa dunia tidak siap menerima mereka apa adanya, sehingga topeng ini menjadi satu-satunya cara untuk berfungsi.
Memenuhi Ekspektasi Lingkungan
Seringkali, lingkungan tempat anak autis berada—baik di sekolah maupun di rumah—secara tidak sadar menetapkan ekspektasi yang tinggi terhadap “normalitas.” Kurikulum sekolah yang kaku, aktivitas ekstrakurikuler yang sangat terstruktur, atau bahkan percakapan santai di rumah bisa menjadi tantangan besar. Anak-anak autis mungkin merasa harus “berusaha lebih keras” untuk memenuhi ekspektasi ini, bahkan jika itu berarti mengorbankan kesejahteraan internal mereka. Mereka mungkin belajar cara merespons pertanyaan yang diharapkan, bahkan jika mereka tidak sepenuhnya memahami konteks sosialnya, hanya agar mereka tidak dianggap “berbeda” atau “kurang mampu.”






