lombokprime.com – Pernahkah Anda merasa bingung dan frustasi menghadapi sikap anak remaja di rumah? Perubahan drastis pada perilaku mereka seringkali membuat orang tua bertanya-tanya, apakah ini memang bagian dari kenakalan remaja atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya.
Seringkali, apa yang kita lihat sebagai keegoisan, pemberontakan, atau kemalasan pada remaja, sebenarnya adalah cerminan dari pengalaman traumatis atau kesulitan yang sedang mereka alami. Memahami bahwa di balik sikap yang “sulit” itu mungkin ada rasa sakit yang tersembunyi, adalah kunci untuk membangun kembali jembatan komunikasi dan dukungan.
Dunia remaja adalah labirin emosi dan perubahan. Tubuh mereka bertumbuh, hormon bergejolak, dan mereka dihadapkan pada tekanan sosial yang tak terduga. Di tengah gejolak ini, tak jarang mereka mengalami kejadian yang meninggalkan luka emosional, atau yang kita kenal sebagai trauma.
Trauma ini bisa berasal dari berbagai sumber: perundungan di sekolah, konflik keluarga, kehilangan orang terdekat, tekanan akademik yang ekstrem, atau bahkan pengalaman kecil yang terasa menakutkan bagi mereka.
Sayangnya, karena keterbatasan kosa kata emosional atau rasa takut dihakimi, banyak remaja tidak bisa mengungkapkan rasa sakit ini secara langsung. Alih-alih, mereka mengekspresikannya melalui perilaku yang sering disalahartikan sebagai kenakalan atau sifat buruk.
Mari kita telaah lebih jauh 8 sikap anak remaja yang seringkali bukan egois, melainkan tanda adanya trauma yang perlu perhatian dan pemahaman kita.
1. Sering Menarik Diri dan Menghindari Interaksi Sosial
Salah satu perubahan perilaku yang paling sering disalahartikan adalah ketika remaja mendadak menjadi sangat menarik diri. Dulu mungkin mereka adalah anak yang ceria dan banyak bicara, kini lebih suka mengurung diri di kamar, menghabiskan waktu dengan ponsel, atau menghindari acara keluarga.
Orang tua mungkin berpikir, “Wah, anakku jadi antisosial, mungkin dia egois tidak mau bergaul.” Padahal, ini bisa jadi mekanisme pertahanan diri. Ketika seseorang mengalami trauma, dunia luar bisa terasa menakutkan dan tidak aman.
Menarik diri adalah cara mereka menciptakan “zona aman” di mana mereka merasa bisa mengendalikan lingkungan dan menjauhkan diri dari potensi ancaman atau pemicu trauma.
Mereka mungkin takut dihakimi, diejek, atau mengalami kembali rasa sakit yang sama. Memberi mereka ruang dan waktu untuk memproses emosi, sembari secara perlahan mencoba mendekati dengan empati, jauh lebih efektif daripada memaksa mereka berinteraksi.
2. Ledakan Emosi dan Kemarahan yang Tidak Terduga
Remaja memang dikenal dengan mood swing-nya. Namun, jika ledakan emosi atau kemarahan yang tidak terkendali terjadi secara berulang dan intensitasnya berlebihan, ini bisa menjadi alarm.
Orang tua seringkali menganggap ini sebagai sikap pembangkangan atau ketidakmampuan mengendalikan diri. Namun, bagi remaja yang menyimpan trauma, kemarahan adalah cara mereka melampiaskan rasa sakit, frustrasi, atau ketidakberdayaan yang mendalam.
Mereka mungkin merasa terjebak, tidak didengar, atau tidak bisa mengubah situasi yang menyakitkan. Kemarahan adalah respons “lawan” dari mekanisme fight-or-flight yang diaktifkan oleh trauma.
Dibandingkan langsung menghukum, mencoba memahami akar kemarahan ini, menawarkan ruang aman untuk berbicara, dan membantu mereka mengidentifikasi pemicu emosi akan lebih konstruktif.
3. Susah Tidur atau Mengalami Mimpi Buruk Berulang
Melihat remaja yang susah tidur atau sering terbangun karena mimpi buruk mungkin dianggap sebagai kebiasaan buruk atau karena terlalu banyak bermain game. Namun, masalah tidur seringkali menjadi indikator kuat adanya masalah psikologis, termasuk trauma.
Trauma bisa mengganggu siklus tidur alami karena otak terus-menerus dalam mode waspada, atau karena pikiran dipenuhi oleh kenangan yang mengganggu. Mimpi buruk adalah cara otak memproses pengalaman traumatis.
Mengabaikan masalah tidur ini berarti mengabaikan sinyal penting dari tubuh dan pikiran mereka. Menciptakan rutinitas tidur yang nyaman, mengurangi paparan stimulasi sebelum tidur, dan yang terpenting, mendengarkan jika mereka ingin berbagi tentang mimpi buruknya, adalah langkah awal yang baik.






