lombokprime.com – Kita semua ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, dan mampu menghadapi segala tantangan hidup. Niat baik ini seringkali terwujud dalam konsep didikan “bikin anak tahan banting”, sebuah filosofi yang percaya bahwa dengan membiarkan anak merasakan kesulitan atau bahkan tekanan, mereka akan menjadi lebih kuat. Namun, sadarkah kita bahwa di balik niat mulia ini, seringkali tersimpan potensi luka batin seumur hidup yang justru melemahkan mental anak? Mari kita bedah lebih dalam fenomena ini dan mengapa sudah saatnya kita mengevaluasi ulang cara kita membentuk generasi masa depan.
Membedah Arti Sejati “Tahan Banting” dalam Konteks Psikologis Anak
Konsep “tahan banting” sering disalahartikan. Banyak orangtua menganggapnya sebagai kemampuan untuk tidak menangis, tidak mengeluh, atau bisa menyelesaikan masalah sendiri tanpa bantuan. Padahal, ketahanan mental (resilience) yang sesungguhnya bukanlah tentang menekan emosi atau memendam masalah. Justru sebaliknya, resilience adalah kemampuan untuk beradaptasi dan bangkit kembali setelah mengalami kesulitan, dan ini sangat bergantung pada dukungan emosional yang solid, pemahaman diri, serta keterampilan menghadapi emosi negatif dengan cara yang sehat.
Ketika “Tahan Banting” Berubah Menjadi “Menanggung Beban Sendiri”
Ada banyak contoh nyata bagaimana didikan “tahan banting” versi salah ini diterapkan. Misalnya, ketika anak terjatuh dan menangis, orangtua berkata, “Jangan cengeng! Itu cuma luka kecil, bangun lagi!” Atau saat anak kesulitan dalam pelajaran, bukan dukungan yang diberikan, melainkan, “Kamu harus bisa sendiri, jangan manja!” Tak jarang, kita juga mendengar cerita tentang orangtua yang membandingkan anak mereka dengan anak lain yang dianggap lebih “kuat” atau “mandiri,” tanpa menyadari dampak emosionalnya.
Data dari survei global UNICEF pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun di seluruh dunia didiagnosis dengan gangguan mental. Angka ini mencerminkan betapa rentannya kesehatan mental generasi muda. Salah satu pemicu utama bisa jadi adalah kurangnya validasi emosi dan tekanan untuk selalu terlihat kuat, yang justru menghambat mereka mengembangkan mekanisme koping yang sehat. Ketika anak terus-menerus didorong untuk menekan emosinya dan menyelesaikan masalah sendiri tanpa bimbingan, mereka tidak belajar bagaimana mengenali, mengelola, atau bahkan mengungkapkan perasaannya.
Luka Batin yang Tak Terlihat: Dampak Jangka Panjang pada Psikologi Anak
Luka batin yang ditanamkan oleh didikan “tahan banting” yang keliru ini bisa sangat dalam dan membekas hingga dewasa. Bayangkan saja, seorang anak yang selalu diminta untuk tidak menangis atau mengeluh, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang kesulitan mengungkapkan perasaannya. Mereka mungkin menganggap bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan, sehingga memilih untuk memendam semuanya. Ini bisa berujung pada berbagai masalah kesehatan mental, seperti:
- Kecemasan dan Depresi: Ketika emosi tidak diolah dengan baik, mereka bisa menumpuk dan memicu perasaan cemas yang berlebihan atau bahkan depresi. Mereka mungkin merasa terisolasi karena tidak bisa berbagi beban.
- Rendahnya Harga Diri: Anak yang selalu merasa bahwa mereka harus “tahan banting” dan tidak boleh gagal, seringkali mengembangkan harga diri yang rendah. Mereka takut melakukan kesalahan dan selalu merasa tidak cukup baik.
- Kesulitan dalam Hubungan Interpersonal: Kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat membutuhkan empati, komunikasi terbuka, dan kemampuan untuk merasakan serta berbagi emosi. Jika seseorang tidak pernah diajarkan untuk melakukan ini, hubungan mereka cenderung dangkal atau penuh konflik.
- Perfeksionisme yang Merusak: Dorongan untuk selalu tampil sempurna dan tidak boleh menunjukkan kelemahan dapat memicu perfeksionisme yang tidak sehat, di mana kegagalan sekecil apa pun dianggap sebagai bencana.
- Trust Issues: Anak yang merasa tidak didukung secara emosional saat kesulitan mungkin mengembangkan masalah kepercayaan terhadap orang lain, bahkan orang terdekat. Mereka belajar bahwa mereka hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
Faktanya, penelitian dari Journal of Emotional Abuse pada tahun 2020 menunjukkan bahwa pengalaman traumatis, termasuk penolakan emosional dari orang tua, dapat berkontribusi pada pengembangan pola pikir negatif dan kesulitan regulasi emosi di kemudian hari. Ini bukan sekadar “cengeng,” ini adalah dampak psikologis serius.






