Menganalisis Akar Masalah: Mengapa Orang Tua Menerapkan Didikan Ini?
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa orang tua memilih pendekatan didikan seperti ini? Jawabannya kompleks. Seringkali, ini berakar dari pengalaman masa lalu orang tua itu sendiri. Mereka mungkin tumbuh dengan didikan serupa, di mana “disiplin” dan “ketahanan” diartikan sebagai menekan emosi. Ada pula yang mungkin melihat bahwa anak-anak di lingkungan sekitar mereka tumbuh menjadi individu yang “lemah” karena terlalu dimanja, sehingga mereka ingin mencegah hal tersebut terjadi pada anak mereka.
Selain itu, tekanan sosial juga berperan. Ada stigma bahwa anak yang menangis atau menunjukkan emosi adalah anak yang “cengeng” atau “tidak dididik.” Orang tua mungkin merasa malu atau takut dihakimi jika anak mereka tidak terlihat “kuat” di mata masyarakat. Paradigma ini perlu diubah. Kuat bukanlah berarti tidak merasakan, melainkan mampu merasakan dan bangkit kembali dengan dukungan yang tepat.
Merangkai Ulang Konsep “Tahan Banting”: Resiliensi yang Sejati
Lalu, bagaimana seharusnya kita membentuk anak agar benar-benar tahan banting, namun tetap memiliki mental yang sehat? Jawabannya terletak pada resiliensi yang sejati. Ini adalah tentang membimbing anak untuk:
- Mengakui dan Memvalidasi Emosi: Ajarkan anak bahwa semua emosi itu valid, baik senang, sedih, marah, atau takut. Jangan pernah meremehkan atau menghakimi perasaan mereka. Ucapkan kalimat seperti, “Mama/Papa mengerti kamu sedih, tidak apa-apa menangis,” atau “Wajar kalau kamu marah, mari kita bicara tentang itu.”
- Mengembangkan Keterampilan Koping yang Sehat: Bantu anak menemukan cara-cara sehat untuk mengatasi emosi negatif. Ini bisa berupa menggambar, menulis jurnal, berbicara dengan orang yang dipercaya, berolahraga, atau melakukan hobi yang mereka sukai. Bukan membiarkan mereka memendamnya.
- Membangun Jaring Pengaman Emosional: Pastikan anak tahu bahwa mereka memiliki tempat yang aman untuk kembali, yaitu keluarga. Mereka harus merasa dicintai dan didukung tanpa syarat, apa pun yang terjadi. Ini adalah fondasi kuat yang memungkinkan mereka berani mengambil risiko dan menghadapi tantangan.
- Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Ajari anak bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Daripada menyalahkan, bantu mereka menganalisis apa yang bisa diperbaiki. Tekankan usaha dan ketekunan, bukan hanya kemenangan.
- Mendorong Pemecahan Masalah Kolaboratif: Ketika anak menghadapi masalah, ajak mereka berdiskusi. Berikan panduan, ajukan pertanyaan yang memancing pemikiran kritis, dan biarkan mereka menemukan solusi dengan bimbingan Anda, bukan sekadar memaksakan solusi Anda.
- Mengajarkan Empati dan Welas Asih: Anak yang resilient juga adalah anak yang mampu berempati terhadap orang lain dan diri sendiri. Ini akan membantu mereka membangun hubungan yang kuat dan merasa terhubung dengan dunia.
Menurut Dr. Kenneth Ginsburg, seorang dokter anak dan ahli dalam pengembangan remaja, resiliensi dibangun dari tujuh C: Competence (kompetensi), Confidence (kepercayaan diri), Connection (koneksi), Character (karakter), Contribution (kontribusi), Coping (mekanisme koping), dan Control (kendali). Semua ini berlandaskan pada dukungan emosional dan lingkungan yang suportif, bukan tekanan untuk menekan emosi.
Sebuah Seruan untuk Perubahan: Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri
Mungkin kita pernah menjadi korban didikan “tahan banting” yang salah. Mungkin kita masih merasakan dampaknya hingga hari ini. Tapi siklus ini bisa diputus. Kita punya kesempatan untuk menjadi orang tua, guru, atau bahkan sekadar individu yang lebih peka terhadap kebutuhan emosional anak.
Mari kita berani meruntuhkan stigma bahwa menunjukkan emosi adalah kelemahan. Sebaliknya, itu adalah kekuatan. Kekuatan untuk memahami diri sendiri, kekuatan untuk mencari bantuan, dan kekuatan untuk membangun kembali. Generasi muda saat ini menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari tekanan akademik, pergaulan, hingga ekspektasi media sosial. Mereka butuh lebih dari sekadar “tahan banting” dalam arti sempit; mereka butuh ketahanan mental yang holistik, yang didukung oleh cinta, pengertian, dan validasi.
Bagaimana kita bisa memulainya?






