4. Mengabaikan Kebutuhan Emosional Anak
Pola asuh abai atau neglectful parenting tidak selalu berarti orang tua lalai secara fisik. Banyak orang tua hadir di rumah, tetapi tidak hadir secara emosional. Mereka jarang mendengarkan cerita anak, sibuk dengan ponsel, atau menolak saat anak ingin berbagi perasaan.
Padahal, kebutuhan emosional anak sama pentingnya dengan kebutuhan fisik. Anak yang tumbuh tanpa kehangatan emosional sering merasa tidak dicintai dan sulit mempercayai orang lain. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan gangguan kecemasan, kesulitan membangun empati, bahkan masalah hubungan di masa dewasa.
Tunjukkan kasih sayang secara konsisten. Luangkan waktu untuk benar-benar mendengarkan, bukan sekadar memberi respons singkat. Kadang, pelukan hangat atau kalimat sederhana seperti “Ibu mengerti kamu sedih” sudah cukup membuat anak merasa dihargai.
5. Membiarkan Anak Melakukan Apa Saja Tanpa Batasan
Di sisi lain, ada pula orang tua yang terlalu longgar. Semua keinginan anak dituruti demi menghindari konflik. Sekilas terlihat penuh kasih, tetapi pola asuh permisif ini justru bisa merugikan anak di kemudian hari.
Tanpa batasan yang jelas, anak akan kesulitan memahami tanggung jawab dan norma sosial. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit mengendalikan diri, mudah marah ketika keinginannya tidak terpenuhi, dan kurang menghargai aturan.
Memberi kebebasan tetap perlu diimbangi dengan batasan yang sehat. Misalnya, anak boleh bermain game setelah menyelesaikan PR. Aturan yang konsisten membantu anak belajar disiplin dan memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.
6. Terlalu Melindungi Anak (Overprotective)
Niat melindungi anak adalah hal wajar, tetapi ketika orang tua terlalu sering menolong bahkan untuk hal kecil, anak kehilangan kesempatan belajar menghadapi tantangan.
Anak yang selalu dilindungi dari kesalahan atau kegagalan akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri. Mereka takut mencoba hal baru dan cenderung menghindari risiko, karena tidak pernah belajar mengatasi rasa frustrasi.
Biarkan anak mengalami kesulitan kecil, seperti menyelesaikan tugas sekolah tanpa bantuan penuh atau menghadapi masalah dengan teman. Orang tua bisa tetap mendampingi tanpa mengambil alih. Dari pengalaman seperti inilah anak belajar tangguh dan percaya pada kemampuannya.
7. Memberi Hadiah sebagai Satu-satunya Bentuk Apresiasi
Memberikan hadiah materi memang bisa membuat anak bahagia, tetapi jika dilakukan terlalu sering, anak akan belajar bahwa penghargaan hanya datang dalam bentuk benda.
Dampaknya, motivasi intrinsik anak menurun. Ia hanya akan berusaha jika ada imbalan, bukan karena dorongan dari dalam diri.
Sebaliknya, tunjukkan apresiasi dengan cara yang lebih bermakna. Pujian tulus, pelukan hangat, atau waktu berkualitas bersama sering kali lebih berharga daripada hadiah apa pun. Anak akan belajar bahwa rasa bangga datang dari usaha dan pengalaman, bukan dari materi.
Pola Asuh yang Sehat Dimulai dari Kesadaran
Setiap orang tua pasti pernah melakukan kesalahan dalam pola asuh, dan itu manusiawi. Yang penting adalah kesadaran untuk memperbaiki. Pola asuh merugikan anak tidak terbentuk dalam semalam, begitu pula perubahan menuju pola asuh yang sehat memerlukan proses.
Menjadi orang tua bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang terus belajar memahami anak dan diri sendiri. Dengan empati, komunikasi terbuka, dan kasih sayang yang konsisten, orang tua dapat menciptakan lingkungan yang aman dan penuh dukungan bagi tumbuh kembang anak.
Pada akhirnya, disiplin sejati bukan tentang ketakutan, melainkan tentang membentuk karakter dengan kasih sayang. Pola asuh yang baik akan membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri, dan siap menghadapi dunia dengan hati yang kuat dan sehat.






