Boomer Nggak Butuh Like and Share? Salah Besar!

Boomer Nggak Butuh Like and Share? Salah Besar!
Boomer Nggak Butuh Like and Share? Salah Besar! (www.freepik.com)

lombokprime.com – Di era digital yang serba terkoneksi ini, personal branding telah menjadi mantra baru, termasuk bagi generasi Baby Boomer yang kini banyak merasakan tekanan untuk membangun citra diri mereka secara online. Fenomena ini seringkali membingungkan, bahkan terasa aneh bagi mereka yang tumbuh di zaman yang berbeda, di mana reputasi dibangun melalui kualitas kerja nyata dan interaksi tatap muka, bukan di media sosial. Mari kita selami lebih dalam mengapa konsep personal branding ini bisa jadi sebuah tantangan unik bagi para Boomer dan bagaimana kita bisa menjembatani perbedaan generasi ini.

Memahami Perbedaan Dunia: Dulu dan Kini

Generasi Boomer, yang lahir antara tahun 1946 dan 1964, dibesarkan di dunia di mana nilai-nilai seperti loyalitas, kerja keras, dan dedikasi pada satu pekerjaan seumur hidup sangat dijunjung tinggi. Konsep “memasarkan diri sendiri” secara eksplisit, apalagi melalui platform digital, hampir tidak terbayangkan. Pekerjaan didapatkan melalui jaringan pribadi, rekomendasi, dan rekam jejak yang solid. Reputasi terbangun dari mulut ke mulut, di ruang-ruang kantor, atau di pertemuan-pertemuan komunitas, bukan dari jumlah like atau follower.

Di sisi lain, milenial dan Gen Z tumbuh di era di mana internet adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Mereka terbiasa dengan konsep diri sebagai “merek” yang harus dipromosikan, dioptimalkan, dan terus diperbarui. Media sosial adalah kanvas mereka untuk menunjukkan keahlian, minat, dan bahkan kepribadian. Pergeseran paradigma inilah yang menciptakan jurang pemahaman. Bagi Boomer, gagasan untuk “memamerkan” diri sendiri bisa terasa egois, tidak profesional, bahkan sedikit canggung. Mereka mungkin melihatnya sebagai bentuk narsisme, bukan strategi karier.

Ketika Kompetensi Berbicara Lebih Keras dari Klik

Bagi banyak Boomer, etos kerja adalah segalanya. Mereka percaya bahwa hasil pekerjaan yang berkualitas tinggi akan berbicara dengan sendirinya. Kompetensi dan pengalaman bertahun-tahun adalah aset terbesar mereka, dan mereka mungkin merasa aneh atau tidak perlu untuk “menjual” apa yang sudah jelas. Mengapa harus mempublikasikan pencapaian di LinkedIn ketika klien atau atasan sudah tahu rekam jejak mereka? Ini adalah pertanyaan fundamental yang sering muncul.

Tekanan untuk berpartisipasi dalam personal branding bisa datang dari berbagai arah: dari anak cucu yang menyarankan, dari tempat kerja yang mulai merambah dunia digital, atau dari tren umum yang membuat mereka merasa tertinggal. Mereka mungkin melihat teman-teman sebaya atau rekan kerja yang lebih muda aktif di media sosial dan merasa ada “kewajiban” untuk ikut serta, meskipun mereka tidak sepenuhnya memahami manfaatnya. Ketidakpahaman ini bisa berujung pada rasa frustrasi, kecanggungan, atau bahkan penolakan.

Ketakutan akan Teknologi dan Privasi

Selain perbedaan filosofi, ada juga kendala praktis. Banyak Boomer mungkin tidak tumbuh dengan paparan teknologi yang sama dengan generasi setelahnya. Antarmuka media sosial yang kompleks, fitur-fitur yang terus berubah, dan ancaman keamanan siber bisa menjadi hal yang menakutkan. Proses membuat profil, mengunggah foto, atau menulis konten bisa terasa rumit dan memakan waktu.

Selain itu, konsep privasi juga sangat berbeda. Boomer tumbuh di era di mana informasi pribadi dijaga ketat. Berbagi detail kehidupan pribadi atau profesional di platform publik bisa terasa seperti melanggar batas yang sudah lama mereka junjung. Mereka mungkin khawatir tentang bagaimana informasi mereka akan digunakan, siapa yang akan melihatnya, atau risiko apa yang mungkin muncul dari terlalu banyak berbagi. Kekhawatiran ini sangat valid dan perlu diakui.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *