Persahabatan yang Tulus dan Sederhana
Saat kecil, mencari teman itu mudah. Cukup ajak main, dan kalian sudah bisa menjadi sahabat. Pertengkaran pun tak berlangsung lama, dan esok harinya semua sudah kembali baik-baik saja. Tak ada drama yang rumit, tak ada backstabbing, dan tak ada niat tersembunyi. Persahabatan terasa begitu murni dan tulus. Sekarang, membangun dan mempertahankan hubungan pertemanan terasa lebih menantang. Lingkaran pertemanan cenderung mengecil, dan mencari teman baru butuh usaha lebih. Kita juga jadi lebih berhati-hati dalam memilih siapa yang bisa dipercaya. Kita merindukan kesederhanaan dan ketulusan persahabatan di masa kecil, di mana tawa dan kegembiraan adalah satu-satunya tujuan. Tak ada ekspektasi berlebihan atau beban yang harus dipikul dalam setiap jalinan pertemanan.
Kebebasan untuk Menangis Tanpa Malu
Dulu, ketika kita sedih atau kesal, menangis adalah respons yang alami dan diterima. Orang tua akan memeluk, menghibur, dan membiarkan kita mengeluarkan emosi. Tidak ada anggapan bahwa menangis adalah tanda kelemahan. Sekarang? Menangis di depan umum seringkali dianggap tabu. Kita diajarkan untuk “kuat” dan menahan emosi, terutama di lingkungan profesional. Rasa sedih, kecewa, atau frustrasi seringkali harus dipendam sendiri. Kita merindukan kebebasan untuk mengekspresikan emosi tanpa perlu merasa malu atau menghakimi diri sendiri. Kemampuan untuk menunjukkan kerentanan dan mendapatkan dukungan tanpa syarat adalah salah satu hal yang membuat masa kecil terasa begitu aman dan nyaman.
Dunia yang Terlihat Lebih Sederhana dan Penuh Harapan
Ketika kecil, dunia terasa begitu sederhana. Masalah terbesar mungkin hanya nilai ujian yang jelek atau mainan yang rusak. Masa depan terlihat cerah dan penuh kemungkinan tak terbatas. Kita bermimpi menjadi astronot, dokter, atau pahlawan super, tanpa menyadari kompleksitas dan tantangan yang sebenarnya menanti. Sekarang, kita dihadapkan pada berbagai isu global, tekanan sosial, dan realitas hidup yang seringkali pahit. Pandangan kita terhadap dunia menjadi lebih realistis, namun seringkali juga lebih pesimis. Kita merindukan masa di mana segala sesuatu terasa begitu jernih, harapan tak terbatas, dan setiap hari adalah petualangan baru.
Betapaironisnya, dahulu kita ingin segera dewasa, kini kita ingin kembali menjadi anak-anak. Kerinduan ini bukan berarti kita ingin lari dari tanggung jawab, melainkan sebuah pengingat akan hal-hal esensial yang mungkin terlupakan di tengah kesibukan. Mungkin, sesekali kita perlu mengizinkan diri kita untuk “bermain” lagi, tidur siang tanpa rasa bersalah, atau sekadar menikmati hidangan favorit tanpa memikirkan apa pun.
Memang, menjadi dewasa itu melelahkan, tapi bukan berarti kita harus kehilangan semua keceriaan masa kecil. Justru, kita bisa belajar untuk menemukan kembali hal-hal kecil yang membuat hidup lebih bermakna. Coba deh, luangkan waktu untuk melakukan sesuatu yang dulu sangat kamu nikmati saat kecil. Mungkin, itu adalah salah satu cara untuk mengisi ulang energi dan menyegarkan jiwa.






