lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa punya segalanya, tapi di saat yang sama merasa hampa? Pekerjaan mapan, gaji lumayan, circle pertemanan yang asyik, tapi entah kenapa semangat untuk menjalani hari terasa lenyap. Jika iya, mungkin kamu sedang mengalami “silent burnout”, sebuah fenomena kelelahan mental dan fisik yang seringkali tidak disadari, terutama di kalangan milenial. Ini bukan sekadar rasa capek biasa setelah seharian bekerja; ini adalah kelelahan yang menggerogoti energi dan motivasi dari dalam, bahkan ketika secara finansial kamu merasa aman.
Fenomena ini menjadi begitu relevan di era digital, di mana tekanan untuk selalu produktif dan sempurna begitu kuat. Kita sering melihat teman-teman di media sosial yang tampak sukses dan bahagia, seolah hidup mereka tanpa cela. Hal ini secara tidak langsung menciptakan standar yang tinggi dan ekspektasi yang kadang tidak realistis. Kita berusaha mengejar itu semua, hingga akhirnya tanpa sadar, baterai mental kita terkuras habis.
Kenapa Milenial Rentan Terhadap Silent Burnout?
Milenial, generasi yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an, tumbuh di tengah gelombang perubahan yang masif. Mereka adalah jembatan antara dunia analog dan digital, saksi mata revolusi teknologi, dan penanggung beban ekspektasi yang berlapis. Ada beberapa faktor kunci yang membuat generasi ini lebih rentan terhadap “silent burnout”:
Tekanan Ekonomi dan Biaya Hidup yang Melonjak
Sejak awal memasuki dunia kerja, milenial dihadapkan pada realitas ekonomi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Kenaikan harga properti, biaya pendidikan yang mahal, dan inflasi membuat impian untuk memiliki rumah atau mencapai kemapanan finansial terasa semakin jauh. Mereka seringkali merasa harus bekerja lebih keras dan mengambil banyak pekerjaan sampingan demi mencapai stabilitas. Beban finansial ini, meskipun pada akhirnya menghasilkan uang, bisa menjadi pemicu stres kronis yang menguras energi.
Budaya “Hustle Culture” dan Produktivitas Berlebihan
Media sosial dan influencer seringkali mempromosikan gaya hidup “hustle culture” – bekerja tanpa henti, selalu produktif, dan menganggap istirahat sebagai kemalasan. Ada narasi yang mengatakan bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan pengorbanan ekstrem. Milenial, yang sangat terpapar informasi ini, seringkali merasa tertekan untuk terus “ngebut” dalam karier, belajar hal baru, dan mengambil proyek di luar jam kerja. Akibatnya, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur, menyisakan sedikit ruang untuk pemulihan diri.
Ketergantungan Pada Teknologi dan Tuntutan Koneksi Digital Non-Stop
Era digital memang membawa banyak kemudahan, tetapi juga menciptakan jebakan baru. Notifikasi yang tiada henti, ekspektasi untuk selalu responsif, dan tekanan untuk selalu up-to-date dengan informasi terbaru bisa sangat melelahkan. Milenial tumbuh dengan smartphone di tangan dan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Mereka terbiasa dengan stimulasi konstan, yang pada gilirannya dapat membuat otak sulit untuk benar-benar beristirahat dan memulihkan diri. Otak yang selalu “on” ini lama kelamaan akan kelelahan.
Ekspektasi Sosial dan Perbandingan Diri
Ada tekanan sosial yang kuat untuk memenuhi standar tertentu: punya karier cemerlang, menikah di usia ideal, punya rumah, dan liburan ke tempat-tempat indah. Media sosial memperparah ini dengan memamerkan “highlight reel” kehidupan orang lain, membuat kita cenderung membandingkan diri dan merasa kurang. Perasaan tidak cukup baik atau tertinggal dari teman sebaya bisa memicu rasa cemas dan stres yang berkepanjangan, menguras energi secara emosional.






