lombokprime.com – Di era yang serba cepat dan dinamis ini, pandangan kita tentang dunia kerja terus berevolusi. Apa yang dulunya dianggap sebagai standar profesionalisme, kini justru dipandang sebagai tuntutan kerja toksik yang dapat menggerogoti kesejahteraan dan produktivitas karyawan. Mari kita telaah lebih lanjut tujuh tuntutan kerja yang sudah saatnya kita tinggalkan karena dampaknya yang merugikan.
1. Kewajiban untuk Selalu “Online” 24/7
Dahulu, dianggap wajar jika atasan atau rekan kerja menghubungi Anda kapan saja, bahkan di luar jam kerja. Namun, di era kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup dan kerja, tuntutan untuk selalu “online” dan merespons pesan atau email di luar jam kerja telah menjadi sumber stres dan burnout yang signifikan.
Teknologi memang memudahkan kita untuk terhubung, tetapi bukan berarti kita harus selalu siap sedia untuk urusan pekerjaan. Batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi sangat krusial untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan terus-menerus di luar jam kerja dapat meningkatkan tingkat stres, mengurangi kualitas tidur, dan bahkan berdampak negatif pada hubungan pribadi.
Bayangkan, Anda sedang menikmati waktu berkualitas bersama keluarga atau sedang fokus pada hobi yang Anda sukai, tiba-tiba notifikasi email pekerjaan muncul. Pikiran Anda otomatis teralihkan, dan ketenangan yang seharusnya Anda nikmati menjadi terganggu. Ini adalah contoh kecil dari bagaimana tuntutan untuk selalu “online” dapat merusak keseimbangan hidup kita.
Perusahaan yang progresif mulai menyadari hal ini dan mendorong karyawan untuk benar-benar “disconnect” di luar jam kerja. Beberapa bahkan menerapkan kebijakan “right to disconnect,” yang memberikan karyawan hak untuk tidak merespons komunikasi terkait pekerjaan di luar jam kerja tanpa khawatir akan konsekuensi negatif. Ini bukan berarti karyawan menjadi tidak bertanggung jawab, tetapi lebih kepada menghargai waktu istirahat dan pemulihan mereka.
2. Mengagungkan Lembur Berlebihan sebagai Bukti Dedikasi
Mitos bahwa semakin lama Anda bekerja, semakin produktif Anda, adalah pandangan kuno yang perlu ditinggalkan. Lembur sesekali mungkin diperlukan dalam situasi tertentu, tetapi menjadikannya sebagai norma atau bahkan budaya kerja yang diagungkan adalah resep pasti untuk burnout dan penurunan kualitas kerja jangka panjang.
Penelitian dari berbagai sumber, termasuk studi yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan dan psikologi, menunjukkan bahwa bekerja lebih dari 40 jam seminggu secara teratur dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental, termasuk peningkatan risiko penyakit jantung, depresi, dan gangguan tidur. Selain itu, karyawan yang kelelahan cenderung membuat lebih banyak kesalahan dan kurang inovatif.
Budaya “hustle culture” yang seringkali memuja kerja keras tanpa henti perlu diimbangi dengan pemahaman bahwa istirahat dan pemulihan adalah bagian penting dari siklus produktivitas. Karyawan yang merasa dihargai dan memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat cenderung lebih termotivasi, kreatif, dan produktif dalam jangka panjang.
Alih-alih mengukur dedikasi karyawan dari jumlah jam kerja mereka, perusahaan sebaiknya fokus pada hasil dan kualitas pekerjaan. Memberikan fleksibilitas waktu kerja dan mendorong karyawan untuk mengambil cuti yang cukup adalah langkah-langkah yang lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas tim.
3. Mengharapkan Karyawan Melakukan Tugas di Luar Deskripsi Pekerjaan Tanpa Kompensasi yang Sesuai
Dalam lingkungan kerja yang ideal, setiap karyawan memiliki deskripsi pekerjaan yang jelas dan terstruktur. Namun, seringkali kita menemukan situasi di mana karyawan diharapkan untuk mengambil alih tugas-tugas di luar tanggung jawab utama mereka, tanpa adanya kompensasi atau pengakuan yang memadai.
Awalnya, mungkin terlihat seperti kesempatan untuk mengembangkan diri dan menunjukkan inisiatif. Namun, jika hal ini terjadi secara terus-menerus dan tanpa adanya apresiasi yang setimpal, dapat menimbulkan perasaan dimanfaatkan dan tidak dihargai. Karyawan mungkin merasa bahwa beban kerja mereka terus bertambah tanpa adanya peningkatan gaji atau promosi yang sepadan.
Tuntutan seperti ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga dapat menghambat fokus karyawan pada tugas utama mereka. Mereka mungkin merasa terpecah dan tidak dapat memberikan yang terbaik pada semua tanggung jawab yang diberikan. Akibatnya, kualitas pekerjaan secara keseluruhan dapat menurun.
Perusahaan perlu memiliki sistem yang jelas terkait pembagian tugas dan tanggung jawab. Jika ada kebutuhan untuk menambah tugas di luar deskripsi pekerjaan, sebaiknya ada diskusi yang transparan dengan karyawan mengenai kompensasi atau peluang pengembangan karir yang mungkin menyertainya. Menghargai kontribusi karyawan dengan memberikan imbalan yang sesuai adalah kunci untuk membangun hubungan kerja yang positif dan berkelanjutan.






