Baru ke Dokter Gigi Saat Sakit? Itu Bukan Malas, Tapi Masalah Psikologis!

Baru ke Dokter Gigi Saat Sakit? Itu Bukan Malas, Tapi Masalah Psikologis!
Baru ke Dokter Gigi Saat Sakit? Itu Bukan Malas, Tapi Masalah Psikologis! (www.freepik.com)

lombokprime.com – Apakah Anda termasuk orang yang baru ingat ke dokter gigi ketika sakit gigi sudah tak tertahankan? Fenomena ini ternyata umum terjadi dan bukan sekadar kebetulan, lho. Ada fakta psikologis mendalam yang seringkali melatarbelakangi kebiasaan menunda pemeriksaan gigi rutin, yang sebenarnya bisa mencegah berbagai masalah gigi dan mulut yang lebih serius di kemudian hari. Mari kita selami lebih jauh mengapa pola pikir ini begitu melekat pada banyak dari kita, dan bagaimana kita bisa mengubahnya demi senyum yang lebih sehat dan bebas rasa sakit.

Mitos dan Realita: Mengapa Kita Menunda ke Dokter Gigi?

Bagi sebagian besar dari kita, kunjungan ke dokter gigi seringkali diidentikkan dengan pengalaman yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan. Rasa ngilu, suara bor, hingga bau obat yang khas di klinik gigi seringkali menjadi pemicu kecemasan. Mitos seputar rasa sakit saat perawatan gigi, yang kadang dilebih-lebihkan dari mulut ke mulut, juga turut menyumbang pada perilaku menunda ini.

Namun, di balik semua ketakutan itu, ada realitas yang perlu kita pahami: teknologi kedokteran gigi saat ini sudah jauh berkembang. Prosedur yang dulu mungkin terasa menyakitkan kini banyak yang bisa dilakukan dengan minim rasa sakit, bahkan tanpa rasa sakit sama sekali berkat teknik anestesi yang lebih canggih dan alat-alat modern. Sayangnya, informasi ini belum sepenuhnya sampai ke semua orang, sehingga mitos lama masih terus beredar dan membentuk persepsi negatif.

Fobia Gigi: Lebih dari Sekadar Rasa Takut Biasa

Bagi beberapa orang, menunda kunjungan ke dokter gigi bisa jadi bukan karena malas, melainkan karena fobia yang lebih dikenal sebagai dentophobia atau odontophobia. Ini adalah ketakutan ekstrem terhadap dokter gigi atau perawatan gigi yang bisa memicu serangan panik, kecemasan berlebihan, bahkan gejala fisik seperti mual atau pusing. Pemicunya bisa beragam, mulai dari pengalaman traumatis di masa lalu, cerita menakutkan dari orang lain, hingga perasaan kehilangan kontrol saat berada di kursi gigi.

Mengakui bahwa Anda memiliki fobia gigi adalah langkah pertama yang penting. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan kondisi psikologis yang bisa diatasi. Dokter gigi yang empatik dan berpengalaman seringkali memiliki strategi untuk membantu pasien mengatasi fobia ini, mulai dari pendekatan yang lebih santai, komunikasi yang terbuka, hingga penggunaan teknik relaksasi.

Bias Kognitif: Kenapa Kita Meremehkan Gejala Awal?

Manusia cenderung memiliki bias optimisme, di mana kita cenderung percaya bahwa hal buruk tidak akan terjadi pada kita. Dalam konteks kesehatan gigi, ini berarti kita cenderung mengabaikan tanda-tanda awal masalah, seperti gusi berdarah saat sikat gigi, gigi sensitif terhadap suhu, atau sedikit nyeri yang datang dan pergi. Kita sering berpikir, “Ah, ini cuma biasa,” atau “Nanti juga sembuh sendiri.”

Padahal, gejala-gejala kecil ini adalah alarm awal yang diberikan tubuh kita. Mengabaikannya berarti kita membiarkan masalah berkembang menjadi lebih serius dan kompleks. Ketika rasa sakit sudah tak tertahankan, barulah kita panik dan mencari pertolongan, yang seringkali berarti perawatan yang lebih invasif dan biaya yang lebih besar. Ini adalah contoh klasik dari bias status quo, di mana kita lebih memilih untuk mempertahankan keadaan saat ini (tidak ke dokter gigi) daripada mengambil tindakan yang mungkin terasa tidak nyaman (pergi ke dokter gigi), bahkan jika tindakan tersebut demi kebaikan kita sendiri.

Pengaruh Lingkungan dan Sosial dalam Membentuk Kebiasaan

Kebiasaan kita dalam merawat gigi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor personal, tetapi juga lingkungan dan sosial. Jika di lingkungan keluarga atau pertemanan jarang ada diskusi tentang pentingnya pemeriksaan gigi rutin, atau bahkan ada pengalaman negatif yang dibagikan, kita cenderung akan mengadopsi pola yang sama. Anak-anak yang sejak dini tidak dikenalkan pada kunjungan dokter gigi yang menyenangkan, atau hanya dibawa saat sudah ada masalah, kemungkinan besar akan tumbuh dengan persepsi negatif terhadap perawatan gigi.

Kampanye kesehatan gigi yang seringkali berfokus pada dampak negatif dari tidak merawat gigi (misalnya, gambar gigi berlubang atau tanggal) mungkin efektif untuk sebagian orang, tetapi bagi sebagian lainnya justru bisa meningkatkan ketakutan. Pendekatan yang lebih positif dan konstruktif, yang menyoroti manfaat senyum sehat, kepercayaan diri, dan pencegahan, mungkin lebih efektif dalam jangka panjang untuk mengubah perilaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *