Ungkapan Keputusasaan atau Pikiran Negatif
Meskipun kadang disampaikan dalam nada bercanda, ungkapan seperti “Aku capek hidup,” “Semuanya terasa sia-sia,” atau “Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi,” adalah alarm yang sangat penting. Perhatikan juga jika mereka mulai membicarakan kematian, rasa tidak berharga, atau merasa menjadi beban bagi orang lain. Ini adalah indikator serius dari pikiran yang menggelayuti dan bisa menjadi tanda awal ide bunuh diri.
Ketergantungan pada Zat atau Mekanisme Koping Negatif
Dalam upaya mengatasi rasa sakit emosional, beberapa anak dewasa mungkin beralih ke mekanisme koping yang tidak sehat, seperti penggunaan alkohol, obat-obatan terlarang, atau bahkan self-harm (menyakiti diri sendiri). Mereka mencari pelarian dari penderitaan yang mereka alami, meskipun dampaknya justru merugikan kesehatan fisik dan mental dalam jangka panjang. Jika kamu melihat tanda-tanda ini, jangan tunda untuk mencari bantuan profesional.
Kenapa Anak Dewasa Mengalami Krisis Emosional?
Ada banyak faktor yang bisa memicu krisis emosional pada anak dewasa. Salah satu yang paling umum adalah transisi kehidupan. Dari masa remaja ke dewasa, atau dari kuliah ke dunia kerja, banyak perubahan besar yang terjadi. Tekanan untuk mencapai kesuksesan, membangun karier, mencari pasangan hidup, hingga mengelola keuangan, semuanya bisa menjadi beban berat.
Selain itu, ekspektasi dari orang tua, lingkungan sosial, dan bahkan diri sendiri yang terlalu tinggi juga bisa memicu stres dan kecemasan. Media sosial yang kerap menampilkan “kehidupan sempurna” orang lain juga bisa memperparah perasaan tidak mampu atau tidak cukup. Belum lagi jika ada pengalaman traumatis di masa lalu, masalah dalam hubungan, atau masalah kesehatan fisik yang kronis. Semua ini bisa menumpuk dan pada akhirnya memicu krisis batin.
Bagaimana Kita Bisa Membantu? Pendekatan Empati dan Solutif
Melihat orang yang kita sayangi mengalami pergulatan batin tentu menyakitkan. Namun, ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Pendekatan kita harus didasari oleh empati, bukan penghakiman.
Jadilah Pendengar yang Baik
Terkadang, yang paling mereka butuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Ciptakan ruang aman di mana mereka merasa nyaman untuk berbagi perasaan dan pikiran. Hindari memberikan nasihat yang tidak diminta, apalagi meremehkan perasaan mereka dengan kalimat seperti “Kamu kan laki-laki, masa gitu aja sedih,” atau “Jangan cengeng.” Biarkan mereka tahu bahwa kamu ada untuk mereka, apa pun yang terjadi.
Validasi Perasaan Mereka
Penting untuk memvalidasi perasaan mereka. Katakan, “Aku paham kalau kamu merasa sedih/marah/frustrasi,” atau “Aku bisa membayangkan betapa beratnya ini bagimu.” Validasi menunjukkan bahwa kamu mengakui dan menghargai apa yang mereka rasakan, sehingga mereka tidak merasa sendirian atau gila.
Tawarkan Dukungan Praktis
Kadang, bantuan praktis sangat berarti. Mungkin mereka kesulitan mengurus rumah, menyiapkan makanan, atau bahkan sekadar mandi. Tawarkan untuk membantu dengan hal-hal kecil yang mungkin terasa berat bagi mereka. “Aku bisa bantu bersih-bersih kalau kamu mau,” atau “Bagaimana kalau kita masak bareng?” adalah tawaran yang bisa sangat meringankan beban mereka.
Ajak Beraktivitas Fisik Ringan
Aktivitas fisik terbukti bisa membantu meningkatkan mood dan mengurangi stres. Ajak mereka jalan-jalan santai, bersepeda, atau melakukan olahraga ringan lainnya. Tidak perlu yang intens, yang penting bergerak dan menghirup udara segar. Paparan sinar matahari juga penting untuk produksi vitamin D yang berperan dalam regulasi mood.






