lombokprime.com – Mengapa korban gaslighting sering merasa bersalah bahkan di momen-momen yang seharusnya membahagiakan? Ini adalah pertanyaan krusial yang seringkali luput dari perhatian, namun menyimpan kedalaman luka psikologis yang begitu nyata. Gaslighting, bentuk manipulasi emosional yang kejam, bisa membuat korbannya merasa selalu salah dan bertanggung jawab atas setiap masalah, seolah kebahagiaan pun terasa seperti dosa yang harus dibayar.
Gaslighting adalah salah satu bentuk penyiksaan emosional yang paling halus namun merusak. Pelaku gaslighting memiliki keahlian luar biasa dalam memutarbalikkan kenyataan, menyangkal apa yang jelas terlihat, bahkan membuat korbannya meragukan ingatan dan kewarasan mereka sendiri. Akibatnya, korban merasa terjebak dalam labirin kebingungan, di mana persepsi mereka terus-menerus digoyahkan. Mereka mulai mempertanyakan diri, keyakinan, bahkan kebenaran emosi mereka sendiri. Efeknya tidak hanya terbatas pada saat-saat konflik, tetapi meresap jauh ke dalam inti keberadaan mereka, bahkan mencemari momen-momen sukacita.
Luka Tak Kasat Mata: Mengapa Kebahagiaan Menjelma Rasa Bersalah?
Mungkin terdengar paradoks, bagaimana bisa seseorang merasa bersalah saat bahagia? Ini bukan sekadar perasaan biasa, melainkan hasil dari rentetan manipulasi yang terus-menerus. Bayangkan sebuah sistem alarm yang rusak: ia berbunyi tanpa henti, bahkan saat tidak ada ancaman. Itulah yang terjadi pada batin korban gaslighting. Mekanisme pertahanan diri mereka terus-menerus diserang, hingga rasa bersalah menjadi semacam “mode default,” bahkan ketika tak ada pemicu eksternal.
Pembenaran Diri Pelaku: Kamu yang Salah, Bukan Aku!
Salah satu pilar utama gaslighting adalah pembenaran diri pelaku. Pelaku ahli dalam menggeser tanggung jawab. Setiap kali ada masalah, konflik, atau bahkan ketidaknyamanan kecil, jari telunjuk akan selalu menunjuk ke arah korban. “Kamu terlalu sensitif,” “Kamu selalu melebih-lebihkan,” atau “Aku tidak pernah mengatakan itu,” adalah kalimat-kalimat yang sering terlontar. Tujuan utamanya? Untuk membuat korban merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kesalahan yang sebenarnya dilakukan oleh pelaku. Ini adalah siasat licik untuk menghindari akuntabilitas, membuat korban merasa seolah-olah merekalah biang keladi dari setiap ketidakberesan dalam hubungan. Tekanan konstan ini pada akhirnya membuat korban internalisasi narasi bahwa mereka adalah akar masalah, bahkan ketika kebahagiaan muncul. Rasa bersalah ini muncul sebagai respons otomatis, seolah mereka tak pantas merasakan kebahagiaan karena, dalam pikiran mereka yang sudah termanipulasi, mereka selalu melakukan kesalahan.
Keraguan Diri yang Mengikis: Apakah Aku Gila?
Manipulasi yang terus-menerus akan mengikis kepercayaan diri korban secara fundamental. Mereka mulai meragukan diri sendiri, mempertanyakan ingatan, penilaian, bahkan kewarasan mereka. Pernahkah kamu merasa yakin akan sesuatu, lalu seseorang terus-menerus mengatakan itu tidak benar, sampai kamu sendiri mulai meragukannya? Dalam konteks gaslighting, ini terjadi secara berulang dan intens. Pelaku dapat menyangkal kejadian yang baru saja terjadi, memutarbalikkan kata-kata, atau bahkan menyembunyikan benda-benda dan kemudian menyalahkan korban karena lupa. Trauma ini membuat korban selalu dalam mode “awas,” meragukan setiap pikiran dan emosi mereka. Jadi, ketika kebahagiaan datang, ada suara kecil di kepala mereka yang berbisik, “Apakah ini nyata? Apakah aku memang pantas? Jangan-jangan ini hanya perasaanku saja, dan nanti akan ada masalah lagi karena aku bahagia.” Keraguan ini menjadi bayangan yang menghantui, mengubah kebahagiaan menjadi kecemasan tersembunyi.






