Ketakutan Akan Konflik: Lebih Baik Mengalah daripada Berperang
Korban gaslighting seringkali mengembangkan ketakutan akan konflik yang mendalam. Mereka tahu betul bagaimana respons pelaku terhadap konfrontasi: kemarahan, penolakan, atau bahkan pembalikan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu, untuk menjaga kedamaian (atau setidaknya menghindari badai), mereka cenderung menghindar dari segala bentuk konfrontasi. Mereka memilih untuk menelan perasaan mereka, bahkan ketika mereka merasa tidak adil diperlakukan. Rasa bersalah ini muncul sebagai strategi bertahan hidup: lebih baik menyalahkan diri sendiri daripada memicu kemarahan pelaku. Ironisnya, ini justru memperkuat siklus manipulasi. Ketika kebahagiaan muncul, ada ketakutan bawah sadar bahwa kebahagiaan ini akan mengganggu “keseimbangan” yang rapuh dalam hubungan, dan akan memicu reaksi negatif dari pelaku. Jadi, rasa bersalah itu muncul sebagai cara untuk “meredam” kebahagiaan, menjaganya agar tetap tersembunyi dan tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Perasaan Bersalah Kronis: Beban yang Tak Pernah Hilang
Bayangkan sebuah ransel yang selalu kamu bawa, berisi batu-batu kecil yang mewakili setiap kesalahan (baik yang nyata maupun yang dimanipulasi). Perasaan bersalah kronis ini menjadi beban yang tak pernah hilang bagi korban gaslighting. Mereka merasa bersalah bahkan untuk hal-hal kecil, seolah-olah mereka dilahirkan dengan label “pembuat masalah.” Beban ini tidak hanya muncul saat ada konflik, tetapi juga meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Saat kebahagiaan datang, alih-alih merayakannya, korban justru merasa tidak pantas. “Bagaimana aku bisa bahagia, sementara aku adalah orang yang begitu banyak melakukan kesalahan?” Mereka mungkin merasa seolah-olah kebahagiaan adalah kemewahan yang tidak layak mereka dapatkan, mengingat betapa seringnya mereka merasa bersalah dan bertanggung jawab. Ini adalah puncak dari manipulasi, ketika korban mulai percaya bahwa mereka memang ditakdirkan untuk merasa bersalah.
Dampak Jangka Panjang: Ketika Hidup Kehilangan Warnanya
Dampak gaslighting jauh melampaui perasaan bersalah sesaat. Secara jangka panjang, korban bisa mengalami berbagai masalah kesehatan mental yang serius.
Kesehatan Mental yang Terguncang: Cemas, Depresi, dan Trauma
Paparan gaslighting yang terus-menerus dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan bahkan trauma kompleks. Korban hidup dalam keadaan waspada yang konstan, tidak pernah merasa aman atau stabil. Mereka terus-menerus memproses informasi, mencoba membedakan antara realitas dan manipulasi. Ini adalah beban kognitif yang luar biasa, menguras energi mental dan emosional. Kecemasan menjadi teman setia, karena mereka selalu menunggu “serangan” manipulasi berikutnya. Depresi muncul karena perasaan putus asa, kehilangan kontrol, dan ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari siklus tersebut. Dalam beberapa kasus, ini bisa berkembang menjadi trauma yang mendalam, membutuhkan intervensi profesional untuk menyembuhkannya.
Hubungan yang Rusak: Hilangnya Kepercayaan
Gaslighting menghancurkan fondasi kepercayaan, tidak hanya pada orang lain tetapi juga pada diri sendiri. Akibatnya, korban mungkin mengalami kesulitan dalam hubungan di masa depan. Mereka mungkin menjadi terlalu curiga, takut akan manipulasi, atau sebaliknya, terlalu mudah percaya pada orang yang salah. Kemampuan mereka untuk membentuk ikatan yang sehat menjadi terhambat karena pengalaman traumatis sebelumnya. Sulit untuk membuka diri dan percaya lagi ketika batinmu telah begitu sering dikhianati dan diputarbalikkan.






