7 Kebiasaan Menunjukkan Kurangnya Empati
data-sourcepos="5:1-5:414">lombokprime.com – Kurangnya empati dalam interaksi sehari-hari bisa jadi tanpa kita sadari telah menjadi kebiasaan yang menjauhkan kita dari orang lain. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, terkadang kita terlalu fokus pada diri sendiri hingga lupa untuk benar-benar memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang di sekitar kita. Padahal, empati adalah fondasi penting dalam membangun hubungan yang sehat dan bermakna.
Mungkin kamu pernah merasa kurang dipahami atau bahkan diabaikan saat bercerita tentang masalahmu. Atau mungkin kamu pernah tanpa sengaja melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuat orang lain merasa tidak nyaman. Nah, bisa jadi, ada beberapa kebiasaan kecil yang tanpa sadar menunjukkan kurangnya empati dalam dirimu. Yuk, kita telaah bersama 7 kebiasaan yang seringkali menjadi indikator kurangnya empati dalam interaksi sehari-hari, dan bagaimana kita bisa mulai mengubahnya.
1. Terlalu Sibuk dengan Diri Sendiri Saat Orang Lain Berbicara
Pernahkah kamu berada dalam percakapan di mana lawan bicaramu terus-menerus menyela, mengalihkan topik pembicaraan ke dirinya sendiri, atau bahkan terlihat tidak fokus sama sekali? Kebiasaan ini seringkali menunjukkan kurangnya minat dan perhatian terhadap apa yang sedang dibicarakan orang lain. Ketika kita lebih fokus pada pikiran, pengalaman, atau bahkan ponsel kita sendiri saat orang lain sedang berusaha berbagi, kita secara tidak langsung mengirimkan pesan bahwa apa yang mereka katakan tidaklah penting.
Menurut sebuah studi tentang perilaku mendengarkan yang efektif, pendengar yang empatik cenderung memberikan perhatian penuh, melakukan kontak mata, dan memberikan respons verbal maupun nonverbal yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar menyimak. Sebaliknya, orang yang kurang empatik seringkali menunjukkan tanda-tanda seperti gelisah, melihat ke arah lain, atau bahkan melakukan aktivitas lain saat lawan bicara sedang berbicara.
Bagaimana Mengubahnya: Cobalah untuk benar-benar hadir dalam percakapan. Letakkan ponselmu, lakukan kontak mata, dan fokuslah pada apa yang sedang dikatakan lawan bicaramu. Ajukan pertanyaan yang relevan dan tunjukkan minat yang tulus. Ingatlah, mendengarkan dengan empati bukan hanya tentang mendengar kata-kata, tetapi juga tentang memahami emosi dan perspektif di baliknya.
2. Memberikan Solusi Instan Tanpa Memvalidasi Perasaan
Ketika seseorang datang kepada kita dengan masalah atau keluh kesah, respons alami kita mungkin adalah untuk segera menawarkan solusi. Namun, terkadang yang dibutuhkan oleh orang tersebut bukanlah solusi instan, melainkan validasi atas perasaan mereka. Ketika kita langsung memberikan solusi tanpa terlebih dahulu mengakui atau memahami emosi yang mereka rasakan, kita mungkin terkesan tidak peduli atau meremehkan masalah mereka.
Misalnya, temanmu baru saja putus cinta dan merasa sangat sedih. Jika responsmu adalah, “Sudahlah, nanti juga dapat yang lebih baik,” kamu mungkin bermaksud baik, tetapi kamu tidak memberikan ruang bagi temanmu untuk merasakan kesedihannya. Respons yang lebih empatik adalah dengan mengatakan, “Aku bisa bayangkan betapa sakitnya perasaanmu saat ini. Aku di sini untukmu jika kamu ingin bercerita lebih lanjut.”
Bagaimana Mengubahnya: Sebelum menawarkan solusi, cobalah untuk memvalidasi perasaan orang lain terlebih dahulu. Katakan bahwa kamu memahami apa yang mereka rasakan, atau akui betapa sulitnya situasi yang sedang mereka hadapi. Dengan begitu, mereka akan merasa didengarkan dan dipahami, yang seringkali jauh lebih berharga daripada solusi instan.
3. Membuat Asumsi dan Menghakimi Terlalu Cepat
Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan perspektif yang berbeda. Ketika kita membuat asumsi atau menghakimi seseorang berdasarkan penampilan, perilaku, atau informasi yang terbatas, kita seringkali gagal untuk melihat gambaran yang lebih besar. Kebiasaan ini menunjukkan kurangnya empati karena kita tidak berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain.
Misalnya, kita melihat seseorang yang terlambat datang ke kantor dan langsung berasumsi bahwa dia malas atau tidak disiplin. Padahal, mungkin saja ada alasan di baliknya, seperti masalah transportasi atau urusan keluarga yang mendesak. Dengan membuat asumsi dan menghakimi, kita menutup diri terhadap kemungkinan lain dan gagal untuk berempati dengan situasi yang mungkin sedang dihadapi orang tersebut.
Bagaimana Mengubahnya: Berusahalah untuk menahan diri dari membuat asumsi atau menghakimi terlalu cepat. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki cerita dan alasan di balik tindakan mereka. Cobalah untuk melihat situasi dari sudut pandang mereka dan berikan mereka kesempatan untuk menjelaskan diri. Dengan bersikap lebih terbuka dan tidak menghakimi, kita membuka ruang untuk pemahaman dan empati.
4. Meremehkan Pengalaman atau Perasaan Orang Lain
Pernahkah kamu mendengar seseorang mengatakan, “Ah, itu mah kecil,” atau “Jangan lebay deh,” ketika orang lain sedang mengungkapkan kesedihan atau kekecewaan mereka? Meremehkan pengalaman atau perasaan orang lain adalah salah satu indikator kurangnya empati yang paling menyakitkan. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak menganggap serius apa yang dirasakan oleh orang tersebut dan seolah-olah mengatakan bahwa perasaan mereka tidak valid.
Setiap orang memiliki tingkat sensitivitas dan cara yang berbeda dalam menghadapi suatu situasi. Apa yang mungkin terasa kecil bagi kita, bisa jadi sangat berarti atau menyakitkan bagi orang lain. Dengan meremehkan perasaan mereka, kita tidak hanya membuat mereka merasa tidak dipahami, tetapi juga merusak kepercayaan dan kedekatan dalam hubungan.
Bagaimana Mengubahnya: Belajarlah untuk menghargai dan mengakui perasaan orang lain, meskipun kita tidak sepenuhnya memahaminya. Hindari menggunakan kalimat-kalimat yang meremehkan atau mengecilkan hati. Sebagai gantinya, cobalah untuk mengatakan sesuatu seperti, “Aku turut prihatin dengan apa yang kamu alami,” atau “Aku bisa merasakan betapa sulitnya ini bagimu.” Dengan begitu, kita menunjukkan bahwa kita peduli dan menghargai perasaan mereka.
5. Memberikan Nasihat yang Tidak Diminta
Meskipun niatnya mungkin baik, memberikan nasihat yang tidak diminta seringkali bisa terasa menggurui atau bahkan meremehkan kemampuan orang lain untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ketika seseorang bercerita tentang masalahnya, terkadang yang mereka butuhkan hanyalah didengarkan dan dipahami, bukan diberikan solusi atau arahan yang belum tentu mereka butuhkan atau inginkan.
Menurut penelitian tentang komunikasi yang efektif, orang akan lebih terbuka terhadap nasihat jika mereka merasa didengarkan dan dipahami terlebih dahulu. Memberikan nasihat tanpa konteks atau tanpa diminta bisa membuat orang merasa tidak dihargai atau bahkan merasa bodoh karena tidak bisa menemukan solusinya sendiri.
Bagaimana Mengubahnya: Sebelum memberikan nasihat, tanyakan terlebih dahulu apakah orang tersebut ingin mendengarkan saranmu. Jika mereka hanya ingin bercerita atau meluapkan perasaannya, cukup dengarkan dengan penuh perhatian dan berikan dukungan emosional. Jika mereka memang meminta nasihat, berikanlah dengan cara yang lembut dan tidak menggurui. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri dan belajar dari pengalaman mereka.
6. Menggunakan Pengalaman Pribadi untuk Mengungguli Orang Lain
Pernahkah kamu berada dalam percakapan di mana setiap kali orang lain bercerita tentang pengalamannya, kamu langsung membalas dengan cerita yang serupa, bahkan yang terkesan lebih hebat atau lebih buruk? Kebiasaan ini seringkali menunjukkan kurangnya empati karena kita seolah-olah sedang berlomba atau berusaha untuk mengungguli orang lain, bukannya berusaha untuk memahami dan berbagi pengalaman.
Misalnya, temanmu bercerita tentang betapa stresnya dia menghadapi tenggat waktu di kantor. Jika responsmu adalah, “Ah, aku malah lebih parah, kemarin aku harus begadang tiga hari berturut-turut,” kamu secara tidak langsung meremehkan pengalaman temanmu dan mengalihkan fokus pembicaraan ke dirimu sendiri.
Bagaimana Mengubahnya: Ketika orang lain berbagi pengalaman mereka, cobalah untuk fokus pada apa yang mereka rasakan dan apa yang bisa kamu pelajari dari cerita mereka. Hindari membandingkan pengalamanmu dengan pengalaman orang lain, apalagi jika tujuannya adalah untuk mengungguli mereka. Sebagai gantinya, tunjukkan minat yang tulus dan berikan respons yang relevan dengan apa yang mereka bagikan.
7. Sulit Mengucapkan “Maaf” atau Mengakui Kesalahan
Mengucapkan “maaf” ketika kita melakukan kesalahan adalah tanda kedewasaan dan empati. Hal ini menunjukkan bahwa kita menyadari dampak dari tindakan kita terhadap orang lain dan bersedia untuk bertanggung jawab. Sebaliknya, sulit untuk mengakui kesalahan atau meminta maaf bisa menjadi indikator kurangnya empati karena kita seolah-olah tidak peduli dengan perasaan atau kerugian yang mungkin dialami oleh orang lain akibat tindakan kita.
Menurut penelitian tentang resolusi konflik, permintaan maaf yang tulus dapat membantu memperbaiki hubungan yang rusak dan membangun kembali kepercayaan. Ketika kita enggan untuk meminta maaf, kita mungkin terlihat egois, tidak peduli, atau bahkan arogan.
Bagaimana Mengubahnya: Belajarlah untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan tulus ketika kamu menyadari bahwa tindakanmu telah menyakiti atau merugikan orang lain. Jangan mencari-cari alasan atau menyalahkan orang lain. Permintaan maaf yang tulus dan diikuti dengan perubahan perilaku akan menunjukkan bahwa kamu memiliki empati dan menghargai hubunganmu dengan orang lain.
Membangun Jembatan Empati dalam Interaksi Sehari-hari
Ketujuh kebiasaan di atas mungkin terdengar sepele, tetapi jika terus dilakukan tanpa disadari, dapat merusak hubungan kita dengan orang lain dan menunjukkan kurangnya empati. Empati bukanlah sesuatu yang kita miliki atau tidak miliki secara bawaan; ini adalah keterampilan yang bisa kita latih dan kembangkan seiring waktu.
Dengan lebih memperhatikan cara kita berinteraksi dengan orang lain, berusaha untuk benar-benar mendengarkan, memahami perspektif mereka, dan mengakui perasaan mereka, kita dapat membangun jembatan empati yang akan mempererat hubungan kita dan menciptakan lingkungan sosial yang lebih positif dan suportif. Ingatlah, setiap interaksi adalah kesempatan untuk menunjukkan empati dan membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain. Mari mulai dari hal-hal kecil dalam interaksi sehari-hari kita, dan rasakan dampaknya yang luar biasa.