Lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa terjebak dalam percakapan di mana seseorang selalu ingin menjadi yang paling benar? Rasanya seperti berhadapan dengan tembok, argumenmu mental, dan ujung-ujungnya kamu yang merasa bersalah atau bodoh. Fenomena “dia selalu benar” ini bukan sekadar masalah ego, melainkan seringkali melibatkan taktik psikologis licik yang bisa menguras energi dan bahkan merusak hubungan. Yuk, kita selami lebih dalam, bagaimana mengenali taktik ini, dan yang terpenting, bagaimana cara menghadapinya tanpa harus kehilangan akal sehat.
Mengapa Seseorang Selalu Ingin Benar?
Sebelum kita membahas taktiknya, ada baiknya kita memahami akar masalahnya. Mengapa ada orang yang terobsesi untuk selalu benar? Jawabannya bisa bermacam-macam. Beberapa orang mungkin memiliki kebutuhan yang sangat besar akan validasi dan kontrol. Mereka merasa insecure jika pandangan mereka ditentang, dan ini bisa memicu mekanisme pertahanan diri yang agresif. Ada juga yang mungkin tumbuh di lingkungan di mana kesalahan dianggap sebagai kelemahan fatal, sehingga mereka belajar untuk selalu “memenangkan” setiap argumen. Terkadang, ini juga bisa menjadi manifestasi dari narsisme, di mana seseorang merasa bahwa mereka secara inheren lebih superior daripada orang lain. Memahami motivasi di baliknya, meskipun tidak membenarkan perilakunya, bisa membantu kita melihat situasi dengan lebih jernih dan tidak terlalu personal.
Mengenali Taktik Psikologis “Dia Selalu Benar”
Seseorang yang selalu ingin benar jarang sekali menggunakan argumen logis dan sehat. Sebaliknya, mereka sering menggunakan berbagai manuver psikologis yang dirancang untuk membungkam lawan bicara dan memenangkan perdebatan, meskipun argumennya tidak kuat. Ini bukan tentang kebenaran objektif, melainkan tentang dominasi. Mari kita bedah beberapa taktik licik yang sering mereka gunakan:
1. Gaslighting: Meragukan Realitasmu
Ini adalah salah satu taktik paling berbahaya dan manipulatif. Gaslighting terjadi ketika seseorang sengaja membuatmu meragukan ingatan, persepsi, atau bahkan kewarasanmu sendiri. Contohnya, “Aku tidak pernah mengatakan itu, kamu pasti salah dengar,” padahal kamu yakin dia mengatakannya. Atau, “Kamu terlalu sensitif,” ketika kamu mengungkapkan perasaanmu yang valid. Tujuannya adalah untuk membuatmu merasa bingung, tidak percaya diri, dan lebih mudah dikendalikan. Lama-kelamaan, kamu akan mulai mempertanyakan diri sendiri dan merasa bahwa dialah satu-satunya yang bisa melihat “kebenaran.” Ini sangat merusak karena mengikis fondasi kepercayaan dirimu.
2. Ad Hominem: Menyerang Pribadi, Bukan Argumen
Daripada membahas inti masalah, orang ini akan menyerang karakter, motif, atau bahkan penampilanmu. Misalnya, “Kamu tidak tahu apa-apa tentang ini, kan kamu masih muda,” atau “Dasar emosional, makanya tidak bisa berpikir jernih.” Taktik ini mengalihkan fokus dari argumen yang sedang dibahas dan menciptakan suasana permusuhan. Mereka ingin membuatmu merasa tidak layak untuk menyuarakan pendapatmu, sehingga kamu cenderung mundur dari perdebatan. Ini adalah upaya untuk mendiskreditkanmu, bukan idemu.
3. Red Herring: Mengalihkan Pembicaraan
Taktik ini melibatkan pengalihan topik secara tiba-tiba ke hal lain yang tidak relevan dengan argumen utama. Misalnya, saat kamu mencoba membahas masalah keuangan, dia tiba-tiba membahas kesalahmu di masa lalu yang tidak ada hubungannya. Tujuannya adalah untuk membingungkanmu dan membuatmu lupa poin awalmu. Ini seperti mencoba mengejar kelinci yang melompat-lompat, kamu jadi lelah sendiri dan akhirnya menyerah.






