lombokprime.com – Generasi milenial seringkali dihadapkan pada realitas yang kompleks, di mana warisan dari orang tua tidak selalu datang dalam bentuk harta benda atau nilai-nilai luhur. Ada pula warisan tak kasat mata yang terwujud dalam luka psikologis, pola pikir usang, atau ekspektasi yang tak lagi relevan dengan dunia yang terus berubah. Meskipun jarang terucap, banyak milenial yang menyimpan perasaan terpendam terhadap orang tua mereka. Ini bukan tentang kebencian, melainkan rasa dibentuk dalam sebuah kerangka yang, disadari atau tidak, kerap kali menimbulkan ganjalan di hati.
Ketika “Nasihat” Menjadi Luka: Kurangnya Pendidikan Emosional
Salah satu hal paling sering disesali oleh milenial adalah kurangnya pendidikan emosional di masa kecil. Banyak dari kita dibesarkan dalam keluarga yang sangat menekankan nilai akademik dan ketaatan, namun sayangnya mengabaikan aspek kecerdasan emosional. Ungkapan-ungkapan seperti “jangan cengeng,” “anak laki-laki tidak boleh menangis,” atau “sudah, tidak usah dipikirkan” seringkali menjadi racun yang tanpa disadari menyulitkan generasi ini untuk mengelola emosi mereka saat dewasa.
Bayangkan, saat kita merasa sedih, kecewa, atau marah, alih-alih diajarkan cara memprosesnya dengan sehat, kita justru diminta untuk menahan atau menyembunyikannya. Akibatnya, banyak milenial tumbuh tanpa bekal yang cukup untuk mengenali, mengungkapkan, apalagi menyembuhkan luka batin. Ini bukan sekadar tentang air mata yang ditahan, tapi tentang emosi yang terpendam dan berpotensi menjadi bom waktu di kemudian hari. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi masalah kesehatan mental pada kelompok usia produktif (25-34 tahun) terus meningkat, sejalan dengan kurangnya literasi emosional sejak dini. Kita cenderung kesulitan membangun hubungan yang sehat, menghadapi konflik, bahkan memahami diri sendiri.
Jebakan “Hidup Ideal”: Tekanan untuk Menjalani Standar Lama
Orang tua kita mungkin dibesarkan dengan cetak biru kehidupan yang jelas: kuliah, kerja kantoran, menikah, punya rumah. Ironisnya, di era saat ini, realitas ekonomi dan sosial jauh berbeda dari bayangan mereka. Kita melihat harga properti yang melambung tinggi, pilihan karier yang semakin beragam, dan definisi kesuksesan yang bukan lagi hanya tentang jabatan dan gaji besar.
Namun, tekanan untuk memenuhi standar “hidup ideal” yang ditanamkan sejak kecil seringkali masih terasa. Banyak milenial merasa bersalah karena belum mampu membeli rumah, terlambat menikah, atau memilih jalur karier nonkonvensional yang jauh dari ekspektasi keluarga. Seolah-olah, kita gagal memenuhi cetak biru yang diturunkan, padahal dunia di sekitar kita sudah berevolusi. Perasaan ini bisa sangat membebani, menimbulkan kecemasan finansial, dan bahkan memicu konflik internal tentang nilai-nilai yang kita anut. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 60% milenial di Indonesia merasa tertekan oleh ekspektasi sosial dan keluarga terkait pencapaian hidup. Bukankah lebih baik kita didukung untuk menemukan jalan hidup yang paling otentik bagi diri sendiri, daripada terus-menerus mencoba menyesuaikan diri dengan cetak biru yang sudah usang?
Jeratan Masa Lalu: Didikan Otoriter yang Sulit Dilupakan
“Kami keras karena sayang.” Kalimat ini seringkali menjadi justifikasi atas didikan otoriter yang mungkin kita alami di masa kecil. Namun, bagi banyak milenial, pengalaman ini justru meninggalkan luka inner child yang dalam. Kita tumbuh dengan rasa takut berbuat salah, takut mengecewakan, atau bahkan takut berbicara jujur kepada orang tua.
Akibatnya, di usia dewasa, kita mungkin masih bergulat dengan rasa rendah diri, perfeksionisme, atau kesulitan mengambil keputusan karena takut salah. Kita cenderung mencari validasi dari orang lain, sulit mengatakan tidak, dan seringkali menekan keinginan diri sendiri demi memenuhi harapan orang lain. Dampak jangka panjang dari didikan otoriter ini tidak bisa diremehkan. Sebuah studi psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan otoriter cenderung memiliki tingkat kecemasan sosial yang lebih tinggi di kemudian hari. Sudah saatnya kita menyadari bahwa rasa takut bukanlah fondasi yang kokoh untuk membangun hubungan yang sehat, baik dengan orang tua maupun dengan diri sendiri.






