Dibesarkan dengan Cinta Tapi Tersakiti, Kok Bisa?

Dibesarkan dengan Cinta Tapi Tersakiti, Kok Bisa?
Dibesarkan dengan Cinta Tapi Tersakiti, Kok Bisa? (www.freepik.com)

Budaya “Hustle”: Normalisasi Kelelahan dan Kerja Keras Berlebihan

Generasi orang tua kita seringkali bangga dengan kemampuan mereka bekerja 12 jam sehari, dan melihat istirahat sebagai bentuk kemalasan. Nilai ini, sayangnya, diwariskan ke milenial, yang kini hidup di tengah budaya hustle, burnout, dan rasa bersalah saat ingin “istirahat sebentar.” Kita sering bertanya-tanya: apakah hidup ini harus selalu tentang bekerja keras dan berjuang sampai titik nadir, atau ada ruang untuk hidup dengan sadar, sehat, dan menikmati setiap momen?

Fenomena burnout di kalangan milenial bukan lagi rahasia. Survei dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa milenial adalah generasi yang paling rentan mengalami burnout akibat tuntutan pekerjaan dan gaya hidup. Kita terperangkap dalam siklus tiada henti untuk selalu produktif, selalu sibuk, dan selalu berusaha mencapai lebih. Ironisnya, budaya ini justru membuat kita kurang efektif, stres, dan seringkali kehilangan makna dalam pekerjaan maupun kehidupan. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa istirahat bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Menghargai waktu istirahat dan menetapkan batasan yang sehat adalah langkah awal untuk memutus siklus kelelahan yang tidak perlu ini.

Ruang untuk Eksplorasi Diri: Kurangnya Kesempatan Menjadi Diri Sendiri

Sebagian milenial merasa bahwa minat dan bakat mereka tidak pernah dianggap serius. Kita mungkin dipaksa mengambil jurusan “yang menjanjikan” di kuliah, alih-alih mengikuti passion yang sebenarnya. Pilihan karier, gaya hidup, bahkan cara berpakaian kadang masih dikomentari dengan kalimat-kalimat yang meragukan, seperti “kamu itu anak siapa sih?” atau “kok jadi begini?”

Hal ini bisa menciptakan perasaan bahwa kita tidak memiliki otonomi atas hidup sendiri. Kita merasa harus terus-menerus mencari persetujuan dan validasi dari orang tua, bahkan saat kita sudah dewasa. Dampaknya, banyak milenial yang kesulitan menemukan jati diri, tidak yakin dengan pilihan mereka, dan merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan aspirasi terdalam. Kebebasan untuk bereksplorasi dan menjadi diri sendiri adalah fondasi penting untuk kebahagiaan dan kepuasan hidup. Sudah saatnya kita memberikan ruang bagi diri sendiri untuk tumbuh, bereksperimen, dan menemukan jalur yang paling sesuai dengan diri kita, terlepas dari ekspektasi orang lain.

Membangun Relasi Sehat: Minimnya Teladan dalam Interaksi Keluarga

Banyak milenial tumbuh di lingkungan rumah tangga yang mungkin dingin, penuh konflik, atau tanpa komunikasi yang sehat antara ayah dan ibu. Kita mungkin jarang melihat orang tua kita menunjukkan kasih sayang secara terbuka, atau menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif. Akibatnya, saat kita membangun relasi sendiri – baik pertemanan, percintaan, maupun hubungan profesional – kita seringkali kebingungan.

Tidak jarang, milenial yang tumbuh di lingkungan seperti ini memiliki ketakutan terhadap komitmen, atau justru tanpa sadar menoleransi hubungan toksik karena terbiasa melihatnya sejak kecil. Pola hubungan yang tidak sehat ini seringkali berulang dari generasi ke generasi. Penting untuk diingat bahwa model hubungan yang kita lihat di rumah adalah cetak biru pertama yang kita dapatkan. Jika cetak biru itu tidak sehat, kita perlu secara sadar mempelajari dan membangun pola hubungan yang lebih baik. Belajar komunikasi efektif, menetapkan batasan, dan memahami dinamika emosi adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang lebih bermakna dan sehat di kemudian hari.

Tabu Kesehatan Mental: Mengabaikan Aspek Psikologis

Isu kesehatan mental dulu sering dianggap tabu. Depresi disamakan dengan kurang ibadah atau kurang bersyukur. Kecemasan dianggap sebagai tanda kelemahan karakter. Maka, saat milenial mengalami gangguan psikologis, mereka sering merasa bersalah – bukan hanya karena sakitnya, tapi karena tidak mendapat ruang untuk memahami atau membicarakannya.

Stigma terhadap kesehatan mental masih sangat kuat di banyak keluarga. Akibatnya, banyak milenial yang menderita dalam diam, tidak mencari bantuan profesional, dan merasa sendirian dalam perjuangan mereka. Padahal, data menunjukkan bahwa satu dari empat orang dewasa akan mengalami masalah kesehatan mental dalam hidupnya. Sangat penting bagi kita untuk mengubah narasi ini. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Memberikan ruang untuk diskusi terbuka, mencari dukungan profesional, dan menghapus stigma adalah langkah krusial untuk memastikan generasi mendatang tidak lagi menderita dalam keheningan. Sudah saatnya kita normalisasi percakapan tentang kesehatan mental dan melihatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan holistik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *