4. Rendahnya Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri yang rendah adalah fondasi umum yang sering ditemukan pada orang yang mudah tersinggung. Ketika seseorang tidak yakin akan nilai atau kemampuannya sendiri, mereka cenderung mencari validasi dari luar. Namun, di saat yang sama, mereka juga sangat rentan terhadap penolakan atau kritik karena hal itu mengonfirmasi ketakutan terdalam mereka tentang diri sendiri. Mereka mungkin merasa tidak pantas dicintai, tidak cukup baik, atau tidak mampu.
Kritik, bahkan yang membangun sekalipun, bisa dianggap sebagai bukti bahwa mereka memang tidak berharga. Ini seperti luka terbuka yang mudah terinfeksi. Sebuah komentar yang bagi orang lain biasa saja, bagi mereka bisa memicu rasa malu, tidak aman, atau bahkan merasa dikhianati. Untuk melindungi ego mereka yang rapuh, mereka mungkin bereaksi dengan kemarahan, penarikan diri, atau defensif sebagai mekanisme pertahanan diri. Ironisnya, reaksi ini justru bisa menjauhkan orang-orang yang peduli pada mereka.
5. Pengalaman Masa Lalu yang Membekas
Tidak jarang, pengalaman masa lalu yang membekas menjadi akar dari kepekaan berlebihan seseorang. Pengalaman traumatis, penolakan berulang, kritik yang tidak adil di masa kecil, atau lingkungan yang tidak aman bisa membentuk pola pikir yang membuat seseorang selalu dalam mode “waspada”. Mereka mungkin belajar secara tidak sadar bahwa dunia adalah tempat yang tidak aman dan bahwa orang lain cenderung menyakiti mereka.
Misalnya, seseorang yang sering diejek atau di-bully saat kecil mungkin tumbuh dengan kecurigaan terhadap niat orang lain, bahkan jika niat tersebut murni. Mereka mungkin membawa luka emosional yang belum sembuh, sehingga setiap interaksi baru bisa memicu kembali rasa sakit lama. Setiap kali mereka merasa diserang, itu bukan hanya tentang insiden saat ini, tetapi juga tentang semua pengalaman pahit di masa lalu yang terpicu kembali. Mengatasi trauma ini adalah kunci untuk mengurangi kepekaan mereka.
6. Kesulitan Mengatur Emosi (Disregulasi Emosi)
Kesulitan mengatur emosi, atau disregulasi emosi, adalah ciri penting lainnya. Ini berarti orang yang mudah tersinggung seringkali kesulitan mengendalikan atau merespons emosi mereka dengan cara yang proporsional. Emosi mereka bisa melonjak dengan cepat dari kondisi tenang ke kemarahan, kesedihan, atau rasa sakit yang mendalam, bahkan karena pemicu kecil. Mereka mungkin tidak memiliki mekanisme koping yang sehat untuk mengelola perasaan intens tersebut.
Bayangkan diri Anda seperti sebuah termometer emosi. Bagi kebanyakan orang, suhu emosi bisa diatur dalam rentang yang nyaman. Namun, bagi orang yang mudah tersinggung, termometer ini mungkin sangat sensitif, melonjak drastis hanya karena sedikit perubahan suhu. Mereka mungkin kesulitan menenangkan diri setelah merasa terpicu, dan emosi negatif bisa bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Ini bisa terlihat dari ledakan amarah yang tiba-tiba, menangis tanpa henti, atau menarik diri sepenuhnya dari interaksi sosial.
7. Pola Pikir “Hitam-Putih”
Beberapa orang yang mudah tersinggung memiliki pola pikir “hitam-putih” atau dikotomis. Mereka cenderung melihat segala sesuatu dalam ekstrem: baik atau buruk, benar atau salah, teman atau musuh. Tidak ada abu-abu di antara keduanya. Ketika seseorang mengutarakan sesuatu yang tidak sepenuhnya mendukung pandangan mereka, mereka mungkin langsung menganggap orang tersebut sebagai penentang atau bahkan musuh.
Pola pikir ini membuat mereka kesulitan untuk menerima perbedaan pendapat atau nuansa dalam komunikasi. Kritik, alih-alih dilihat sebagai kesempatan untuk berkembang, langsung dianggap sebagai serangan total terhadap diri mereka. Mereka mungkin sulit membedakan antara kritik terhadap perilaku dan kritik terhadap karakter seseorang. Akibatnya, setiap interaksi yang tidak 100% positif dapat memicu rasa tersinggung karena langsung dikategorikan sebagai “negatif” atau “tidak mendukung.”






