Hati-Hati! 7 Kalimat Sepele Ini Bisa Lukai Orang yang Peka

Hati-Hati! 7 Kalimat Sepele Ini Bisa Lukai Orang yang Peka
Hati-Hati! 7 Kalimat Sepele Ini Bisa Lukai Orang yang Peka (www.freepik.com)

Komentar yang Meremehkan Usaha atau Perasaan

“Ah, gitu doang kok baper!” atau “Lebay banget sih!”—kalimat-kalimat ini mungkin sering kita dengar atau bahkan kita ucapkan. Namun, bagi orang dengan EQ tinggi, komentar semacam ini adalah salah satu yang paling sering menyinggung. Mereka memahami bahwa perasaan setiap orang itu valid dan bahwa setiap pengalaman memiliki bobotnya sendiri. Meremehkan perasaan atau usaha seseorang sama saja dengan meremehkan eksistensi mereka.

Bayangkan seseorang yang telah berjuang keras untuk mencapai sesuatu, lalu kamu bilang, “Ah, itu mah gampang.” Atau seseorang yang sedang sedih, lalu kamu bilang, “Jangan nangis, gitu aja.” Orang dengan EQ tinggi tidak hanya mendengarkan kata-kata itu, tapi mereka juga merasakan emosi yang dipancarkan oleh lawan bicara, dan mereka cenderung merasa tidak nyaman ketika emosi itu diremehkan. Mereka justru akan cenderung memvalidasi perasaan orang lain, bukan menguranginya. Ini bukan berarti mereka ingin kamu selalu setuju dengan semua perasaan mereka, tetapi mereka mengharapkan validasi bahwa perasaan itu ada dan layak untuk diakui. Survei dari The Talent Strategy Group pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa 70% karyawan Gen Z dan millennial menyatakan bahwa mereka menghargai lingkungan kerja yang mendukung validasi emosi dan tidak meremehkan perasaan.

Kurangnya Apresiasi atau Pengakuan

Mungkin kamu pernah melihat temanmu melakukan sesuatu yang luar biasa, atau bahkan hal kecil yang butuh usaha ekstra, tapi kamu hanya mengabaikannya atau memberi apresiasi seadanya. Orang dengan EQ tinggi cenderung sangat menghargai pengakuan dan apresiasi. Mereka melihat usaha, bukan hanya hasil. Ketika mereka melakukan sesuatu yang baik atau berusaha keras, bahkan untuk hal-hal kecil, dan itu tidak diakui, mereka bisa merasa diabaikan atau diremehkan.

Ini bukan soal mencari pujian, melainkan tentang pengakuan bahwa usaha mereka berarti. Sebuah ucapan sederhana seperti “Aku lihat kamu sudah berusaha keras!” atau “Terima kasih sudah melakukan ini, itu sangat membantu!” bisa sangat berarti bagi mereka. Di tengah budaya yang sering kali terlalu fokus pada hasil akhir, kemampuan untuk menghargai proses dan usaha adalah ciri khas orang dengan EQ tinggi. Mereka memahami bahwa setiap langkah kecil pun patut dihargai, dan ketika itu tidak terjadi, mereka bisa merasa sedikit kecewa. Data terbaru dari Forbes menunjukkan bahwa 80% pekerja merasa lebih termotivasi ketika mereka merasa dihargai, terlepas dari tingkat EQ mereka. Namun, bagi mereka dengan EQ tinggi, apresiasi adalah bentuk validasi emosional yang penting.

Tidak Mendengarkan dengan Seksama

Di era smartphone dan notifikasi yang tiada henti, active listening atau mendengarkan secara aktif adalah sebuah seni yang mulai pudar. Kita seringkali terburu-buru merespons atau bahkan sudah memikirkan jawaban sebelum orang lain selesai berbicara. Bagi orang dengan EQ tinggi, ini adalah tindakan yang sangat menyinggung. Mereka menganggap komunikasi sebagai jembatan emosional, dan ketika kamu tidak mendengarkan dengan saksama, itu seolah-olah kamu meruntuhkan jembatan itu.

Mereka bisa merasakan apakah kamu benar-benar tertarik dengan apa yang mereka katakan atau hanya berpura-pura. Kontak mata yang kurang, sering melihat ponsel, atau menyela pembicaraan adalah sinyal kuat bahwa kamu tidak sepenuhnya hadir. Ini bisa membuat mereka merasa tidak dihargai, tidak penting, atau bahkan diabaikan. Bagi mereka, mendengarkan adalah bentuk penghargaan dan validasi terhadap keberadaan dan perasaan orang lain. Sebuah laporan dari Pew Research Center pada tahun 2024 menunjukkan bahwa 65% anak muda merasa sulit untuk mempertahankan percakapan mendalam tanpa gangguan teknologi, yang memperparah isu ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *