lombokprime.com – Di dunia ini, kita sering diajarkan untuk menjadi baik hati, peduli, dan selalu siap membantu. Nilai-nilai ini tentu saja luhur dan esensial untuk membangun masyarakat yang harmonis. Namun, seperti halnya pedang bermata dua, kebaikan yang berlebihan atau tanpa batasan bisa membawa dampak yang tidak terduga, bahkan menguras energi dan menimbulkan stres yang signifikan.
Bayangkan saja, Anda bertemu dengan seseorang yang selalu tersenyum, selalu menawarkan bantuan, tidak pernah menolak permintaan, dan seolah-olah tidak pernah memiliki masalah. Sekilas, orang ini tampak seperti malaikat penolong. Tapi, di balik topeng kebaikan yang sempurna itu, seringkali tersembunyi sebuah beban yang tak terlihat. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kebaikan yang melampaui batas justru bisa menjadi bumerang, baik bagi si pemberi maupun si penerima.
Mengapa Kebaikan Berlebihan Menjadi Sumber Stres?
Ada beberapa alasan mendalam mengapa orang yang terlalu baik justru bisa memicu stres, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Ini bukan berarti kebaikan itu buruk, melainkan tentang bagaimana kita mempraktikkannya dan batasan-batasan yang kita tetapkan.
1. Ekspektasi yang Tidak Realistis dan Tekanan Diri
Salah satu alasan utama mengapa orang yang terlalu baik merasakan stres adalah karena mereka sering kali memikul ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri sendiri. Mereka merasa harus selalu menyenangkan semua orang, selalu tersedia, dan tidak pernah mengecewakan. Tekanan internal ini bisa sangat menghancurkan. Mereka mungkin percaya bahwa nilai diri mereka bergantung pada seberapa banyak mereka bisa memberi atau berkorban untuk orang lain.
Ketika mereka tidak bisa memenuhi ekspektasi tersebut – yang sangat wajar karena kita semua manusia dengan keterbatasan – mereka akan merasa bersalah, gagal, atau tidak berharga. Perasaan-perasaan negatif ini akan menumpuk dan menjadi pemicu stres yang kuat. Mereka terjebak dalam siklus “harus menyenangkan orang lain” yang tak berujung, melupakan kebutuhan dan batas diri sendiri.
2. Kurangnya Batasan Diri dan Energi yang Terkuras
Orang yang terlalu baik cenderung kesulitan mengatakan “tidak.” Mereka khawatir penolakan akan menyakiti perasaan orang lain atau membuat mereka terlihat buruk. Akibatnya, mereka seringkali mengambil lebih banyak tanggung jawab daripada yang bisa mereka tangani, membiarkan orang lain mengeksploitasi kebaikan mereka, dan mengorbankan waktu serta energi pribadi mereka.
Bayangkan Anda memiliki seorang teman yang selalu siap membantu, tak peduli sesibuk apa pun ia. Anda mungkin merasa terbantu, namun lama kelamaan, Anda akan menyadari bahwa ia tampak selalu kelelahan, stres, atau bahkan sedikit kesal. Ini adalah cerminan dari energi yang terkuras habis karena kurangnya batasan diri. Mereka mungkin merasa tidak punya pilihan selain terus memberi, bahkan ketika mereka sendiri sudah sangat lelah. Ini bukan hanya melelahkan fisik, tetapi juga emosional.
3. Rasa Frustrasi dan Ketidakpuasan yang Tersembunyi
Ketika seseorang selalu memberi tanpa pernah menerima timbal balik yang setimpal, atau ketika kebaikan mereka sering kali tidak dihargai, rasa frustrasi dan ketidakpuasan bisa muncul. Meskipun mereka mungkin tidak menunjukkannya secara eksplisit, perasaan ini akan mengendap dan menciptakan ketegangan internal.
Mereka mungkin merasa dimanfaatkan, tidak dihargai, atau bahkan “diambil enaknya.” Perasaan ini bisa menyebabkan mereka menarik diri, menjadi pasif-agresif, atau bahkan meledak dalam kemarahan yang tiba-tiba – bukan karena mereka “jahat,” tetapi karena akumulasi kekecewaan yang tak terungkapkan. Ironisnya, mereka mungkin merasa tidak punya hak untuk merasa marah atau frustrasi karena mereka “orang baik.”






