Menghadapi Orang Terlalu Baik Malah Melelahkan, Kok Bisa?

Menghadapi Orang Terlalu Baik Malah Melelahkan, Kok Bisa?
Menghadapi Orang Terlalu Baik Malah Melelahkan, Kok Bisa? (www.freepik.com)

4. Kesulitan Membangun Hubungan yang Sehat dan Seimbang

Hubungan yang sehat didasarkan pada keseimbangan memberi dan menerima. Ketika satu pihak selalu memberi dan pihak lain selalu menerima, hubungan itu menjadi tidak seimbang dan tidak berkelanjutan. Orang yang terlalu baik mungkin menarik individu-individu yang cenderung memanfaatkan kebaikan orang lain, atau mereka justru mendorong orang-orang yang peduli untuk menjauh karena merasa tidak bisa memberi balasan yang setara.

Hal ini bisa memicu perasaan kesepian atau isolasi, meskipun mereka dikelilingi banyak orang. Mereka mungkin merasa bahwa hubungan mereka tidak otentik, karena didasarkan pada apa yang bisa mereka berikan, bukan siapa mereka sebenarnya. Ini adalah salah satu pemicu stres emosional yang paling dalam.

5. Ketakutan Akan Penolakan atau Konflik

Bagi banyak orang yang terlalu baik, kebaikan adalah mekanisme pertahanan. Mereka takut akan penolakan, tidak disukai, atau konflik. Dengan selalu bersikap baik dan menyenangkan, mereka berharap bisa menghindari konfrontasi dan memastikan bahwa semua orang menyukai mereka. Namun, ini adalah ilusi. Konflik adalah bagian alami dari kehidupan dan hubungan, dan menghindarinya hanya akan menumpuk masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Ketakutan ini bisa membuat mereka menyembunyikan perasaan atau pendapat asli mereka, yang pada akhirnya akan merusak integritas diri dan menciptakan kecemasan internal. Mereka hidup dalam ketakutan akan reaksi orang lain, yang merupakan bentuk stres kronis.

Bagaimana Mengenali Tanda-tanda Kebaikan yang Berlebihan?

Mengenali tanda-tanda kebaikan yang berlebihan adalah langkah pertama untuk mengelola stres yang ditimbulkannya. Apakah Anda atau seseorang yang Anda kenal menunjukkan tanda-tanda berikut?

  • Selalu berkata “ya” bahkan ketika mereka tidak punya waktu atau energi.
  • Merasa bersalah saat menolak permintaan.
  • Memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan sendiri secara konsisten.
  • Sering merasa lelah, stres, atau kewalahan.
  • Menghindari konflik dengan segala cara.
  • Kesulitan mengungkapkan kemarahan atau frustrasi secara sehat.
  • Merasa tidak dihargai atau dimanfaatkan namun tidak mengatakannya.
  • Terlalu khawatir dengan pendapat orang lain tentang mereka.

Jika Anda mengenali beberapa tanda ini, ini adalah sinyal untuk mulai mengevaluasi ulang pola kebaikan Anda.

Solusi: Menemukan Keseimbangan dalam Kebaikan

Mengatasi stres yang berasal dari kebaikan yang berlebihan bukanlah berarti berhenti menjadi orang baik. Sebaliknya, ini adalah tentang menemukan keseimbangan yang sehat, mempraktikkan kebaikan dengan kesadaran, dan menetapkan batasan yang jelas.

1. Belajar Mengatakan “Tidak” Tanpa Rasa Bersalah

Ini adalah langkah paling krusial. Mengatakan “tidak” bukan berarti Anda jahat atau tidak peduli. Itu berarti Anda menghargai waktu, energi, dan batasan diri Anda. Latihlah diri Anda untuk menolak permintaan dengan sopan namun tegas. Ingatlah, “tidak” untuk orang lain adalah “ya” untuk diri Anda sendiri. Anda bisa mengatakan, “Maaf, saat ini saya tidak bisa membantu karena ada komitmen lain,” atau “Terima kasih sudah meminta, tapi saya harus fokus pada prioritas saya saat ini.”

2. Menetapkan Batasan yang Jelas dan Komunikatif

Identifikasi apa batasan Anda, baik itu batasan waktu, energi, atau emosional. Setelah itu, komunikasikan batasan tersebut secara jelas kepada orang lain. Misalnya, Anda bisa memberi tahu teman bahwa Anda hanya bisa membantunya di akhir pekan, atau Anda hanya bersedia membahas topik tertentu dalam rentang waktu tertentu. Ini membantu orang lain memahami ekspektasi dan menghormati batasan Anda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *