Overthinking? Bisa Jadi Luka Batin Biang Keladinya!

Overthinking? Bisa Jadi Luka Batin Biang Keladinya!
Overthinking? Bisa Jadi Luka Batin Biang Keladinya! (www.freepik.com)

lombokprime.com – Pernahkah merasa kalimat sederhana bisa bikin overthinking dan memutar otak berulang kali, padahal secara logika seharusnya tidak serumit itu? Fenomena ini seringkali terjadi saat logika yang kita miliki bertabrakan dengan luka batin yang mungkin tanpa sadar masih tersimpan. Rasanya seperti ada “tombol” di dalam diri yang langsung aktif, mengubah kalimat yang tadinya biasa saja menjadi pemicu rentetan pikiran yang tak ada habisnya. Ini bukan berarti kamu lemah atau terlalu sensitif; ini lebih tentang bagaimana pengalaman masa lalu dan emosi yang belum terproses bisa memengaruhi cara kita memandang dan menanggapi informasi, bahkan yang paling sepele sekalipun.

Mengapa Kalimat Sederhana Menjadi Pemicu Overthinking?

Kita semua punya filter pribadi yang terbentuk dari pengalaman hidup, didikan, dan interaksi dengan lingkungan. Filter ini bekerja tanpa henti, memproses setiap informasi yang masuk. Namun, jika ada luka batin atau trauma yang belum tersembuhkan, filter ini bisa menjadi terlalu sensitif. Bayangkan sebuah kalimat seperti, “Kamu kok tumben diam hari ini?” Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya sebuah observasi biasa. Tapi bagi mereka yang punya luka batin terkait merasa tidak terlihat atau dihakimi, kalimat ini bisa langsung memicu overthinking. Pikiran mulai berputar: “Apakah aku melakukan kesalahan?”, “Apa ada yang salah denganku?”, “Apakah mereka tidak suka aku diam?”.

Overthinking yang dipicu oleh kalimat sederhana ini seringkali berakar pada kebutuhan mendalam untuk merasa aman, diterima, dan dicintai. Jika ada keraguan atau ketidakamanan yang belum teratasi, bahkan interaksi paling ringan pun bisa diinterpretasikan sebagai ancaman. Otak kita, yang secara naluriah dirancang untuk melindungi diri, akan mulai mencari “bukti” dari ketakutan tersebut, menciptakan skenario terburuk, dan merangkai kesimpulan yang seringkali jauh dari kenyataan. Ini adalah mekanisme pertahanan yang berlebihan, saking kuatnya dorongan untuk melindungi diri dari luka yang mungkin terulang.

Peran Luka Batin dalam Membentuk Respons Kita

Luka batin, atau dalam istilah psikologi sering disebut trauma, adalah pengalaman menyakitkan di masa lalu yang belum sepenuhnya terproses dan sembuh. Luka ini bisa berupa penolakan, pengabaian, kritik berlebihan, atau bahkan pengalaman yang lebih serius. Dampaknya tidak hanya terasa saat itu, tapi bisa terus memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku hingga dewasa.

Ketika seseorang memiliki luka batin terkait penolakan, misalnya, mereka mungkin akan sangat sensitif terhadap setiap gestur atau kalimat yang bisa diinterpretasikan sebagai penolakan. Jika seseorang berkata, “Nanti saja ya, aku sibuk,” bagi orang dengan luka batin ini, kalimat tersebut bisa langsung memicu perasaan tidak diinginkan atau tidak penting. Padahal, bisa jadi orang tersebut memang benar-benar sibuk. Logika mengatakan bahwa kita harus memahami kesibukan orang lain, tapi luka batin akan berteriak, “Kamu tidak cukup penting untuk mereka!”

Demikian pula dengan luka batin terkait merasa tidak dihargai. Sebuah pujian yang tulus pun bisa dipertanyakan. “Apakah mereka benar-benar tulus? Jangan-jangan cuma basa-basi.” Otak akan mencari celah, mencari alasan untuk tidak percaya, karena pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa kepercayaan bisa berujung pada kekecewaan. Ini adalah lingkaran setan yang sulit diputus jika kita tidak mengenali akar permasalahannya. Luka batin ini menciptakan lensa yang buram, membuat kita sulit melihat realitas dengan jernih, dan malah terpaku pada interpretasi yang paling menyakitkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *