lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa terjebak dalam hubungan yang awalnya terasa seperti mimpi, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk? Terkadang, tanpa kita sadari, validasi sosial bisa menjadi magnet yang kuat, menarik kita ke dalam hubungan yang sebenarnya tidak sehat, bahkan membutakan mata hati kita dari kenyataan. Rasanya seperti ada pesona magis yang membuat kita terus bertahan, padahal hati kecil menjerit ingin keluar.
Kita semua, sebagai manusia, punya kebutuhan mendasar untuk diterima dan dihargai. Apalagi di era media sosial yang begitu dominan, validasi eksternal seolah menjadi mata uang baru. Jempol dan komentar positif di unggahan kita bisa terasa seperti suntikan dopamin, membuat kita merasa berharga. Nah, bayangkan perasaan itu ketika validasi datang dari hubungan romantis. Ketika pasanganmu terlihat “sempurna” di mata orang lain, ketika teman-temanmu memuji betapa serasinya kalian, atau ketika keluargamu tampak begitu bahagia dengan pilihanmu, validasi ini bisa menjadi pemicu kuat yang membuat kita sulit melepaskan diri, bahkan jika hubungan itu sendiri sudah mulai terasa hambar atau bahkan menyakitkan.
Mengapa Validasi Sosial Begitu Menggoda?
Mengapa sih validasi sosial ini punya daya pikat yang begitu kuat? Salah satu alasannya adalah karena ia menyentuh aspek psikologis kita yang paling dalam: kebutuhan akan penerimaan. Sejak lahir, kita didesain untuk hidup berkelompok dan mencari penerimaan dari lingkungan sekitar. Diterima berarti aman, dicintai berarti berharga. Di masa lalu, ini mungkin berarti bertahan hidup di alam liar. Kini, di era modern, ini bisa berarti memiliki hubungan yang “ideal” di mata masyarakat.
Validasi sosial seringkali datang dalam berbagai bentuk. Mungkin teman-temanmu sering bilang, “Kalian pasangan serasi banget!” atau “Dia itu idaman semua orang, beruntung banget kamu!”. Bisa juga dari media sosial, di mana foto-foto mesra dengan caption romantis mendapatkan banyak likes dan komentar positif. Pujian-pujian ini, perlahan tapi pasti, membangun citra hubungan yang “sempurna” di benak kita dan orang lain. Kita mulai melihat hubungan bukan lagi dari kacamata hati dan kebutuhan pribadi, melainkan dari kacamata bagaimana hubungan itu terlihat di mata publik.
Perangkap Tak Kasat Mata: Ketika Citra Lebih Penting dari Substansi
Bahaya utama dari validasi sosial adalah ketika ia mulai mengalahkan substansi. Kita jadi lebih fokus pada bagaimana hubungan kita terlihat di mata orang lain, daripada bagaimana hubungan itu sebenarnya terasa bagi kita. Pernahkah kamu merasa harus berpura-pura bahagia di depan teman-teman, padahal di balik layar, kamu dan pasangan sering bertengkar? Atau mungkin kamu sering mengunggah foto-foto mesra di media sosial, hanya untuk mempertahankan citra “pasangan goals”, padahal di kenyataan, kamu merasa kesepian dan tidak dihargai?
Ini adalah tanda bahwa validasi sosial sudah mulai membutakan kita. Kita jadi takut untuk mengakui bahwa hubungan itu tidak baik, karena takut mengecewakan orang lain, takut kehilangan “status” sebagai pasangan ideal, atau bahkan takut dicap gagal. Ketakutan ini bisa menjadi penjara yang tak kasat mata, membuat kita terjebak dalam hubungan yang justru menguras energi dan kebahagiaan kita.
Tanda-Tanda Kamu Terjebak Validasi Sosial dalam Hubungan
Mengenali tanda-tanda ini adalah langkah pertama untuk melepaskan diri dari jeratan validasi sosial. Mari kita lihat beberapa indikatornya:
1. Prioritas Pandangan Orang Lain di Atas Perasaan Sendiri
Apakah kamu lebih peduli dengan apa yang dipikirkan teman, keluarga, atau bahkan followers di media sosial tentang hubunganmu, daripada apa yang sebenarnya kamu rasakan? Jika kamu sering merasa perlu “menjaga citra” di depan orang lain, padahal hatimu tidak sepenuhnya bahagia, ini adalah tanda yang jelas. Kamu mungkin sering memaksakan diri untuk tersenyum atau menunjukkan kemesraan palsu, hanya agar hubunganmu terlihat baik-baik saja.






