“Musik Sekarang Tidak Jelas, Lebih Bagus Musik Zaman Dulu!”
Setiap generasi memiliki selera musiknya sendiri, dan Boomer tidak terkecuali. Mereka mungkin menganggap musik modern kurang bermakna, terlalu bising, atau tidak memiliki melodi yang kuat seperti lagu-lagu hits di era mereka. Genre seperti rock ‘n’ roll, disko, atau pop klasik di era 70-an dan 80-an memang memiliki daya tarik tersendiri.
Namun, musik terus berevolusi. Generasi sekarang akrab dengan genre yang lebih beragam, dari K-Pop, hip-hop, EDM, hingga berbagai subgenre indie. Musik modern seringkali merefleksikan isu-isu sosial, emosi yang kompleks, dan eksperimen suara yang baru. Platform streaming musik juga telah membuka pintu bagi musisi independen, menghasilkan lanskap musik yang lebih kaya dan beragam dari sebelumnya. Ini bukan soal mana yang lebih baik, tetapi soal perkembangan artistik dan preferensi individu yang terus berubah seiring waktu.
“Generasi Sekarang Terlalu Sensitif dan Mudah Tersinggung!”
Istilah “snowflakes” atau “generasi baperan” seringkali dialamatkan pada generasi muda yang dianggap terlalu peka terhadap kritik atau isu-isu tertentu. Boomer mungkin merasa generasi muda kurang tangguh dan tidak siap menghadapi kerasnya dunia. Mereka dibesarkan di era di mana “mental baja” adalah hal yang diutamakan, dan keluhan dianggap sebagai kelemahan.
Namun, ada perbedaan mendasar dalam kesadaran akan kesehatan mental dan isu-isu sosial. Generasi muda sekarang lebih terbuka untuk membicarakan kesehatan mental, mencari dukungan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Mereka lebih sadar akan pentingnya inklusivitas, keberagaman, dan lingkungan yang aman secara emosional. Ini bukan “manja”, melainkan sebuah evolusi dalam pemahaman kita tentang kesejahteraan dan hak asasi manusia. Diskusi mengenai toxic masculinity, misalnya, menunjukkan pergeseran paradigma tentang bagaimana emosi seharusnya diekspresikan.
“Pendidikan Dulu Lebih Berkualitas, Sekarang Kurikulumnya Aneh-aneh!”
Bagi Boomer, pendidikan seringkali dikaitkan dengan hafalan, disiplin ketat, dan fokus pada mata pelajaran tradisional. Mereka mungkin melihat kurikulum modern yang lebih fleksibel, mengedepankan proyek, atau memasukkan mata pelajaran baru seperti coding atau kewirausahaan, sebagai hal yang kurang serius atau tidak relevan.
Padahal, dunia telah berubah. Pekerjaan masa depan membutuhkan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, dan kolaborasi. Kurikulum modern dirancang untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan global yang kompleks, bukan hanya menghafal fakta. Selain itu, akses terhadap informasi kini begitu mudah melalui internet, sehingga fokus pendidikan bergeser dari sekadar “apa yang diketahui” menjadi “bagaimana cara belajar dan beradaptasi”.
“Zaman Dulu Lebih Sederhana, Tidak Ada Tekanan Sebanyak Sekarang!”
Keluhan ini mungkin memiliki sedikit kebenaran. Di era Boomer, laju informasi tidak secepat sekarang. Belum ada internet, media sosial, atau tekanan untuk terus terhubung 24/7. Mereka mungkin merasa hidup lebih tenang dan fokus pada hal-hal esensial.
Namun, kesederhanaan itu juga berarti keterbatasan. Akses terhadap informasi, produk, dan layanan tidak secepat dan seluas sekarang. Pilihan karier mungkin lebih stabil, tetapi juga lebih terbatas. Generasi muda sekarang menghadapi tekanan untuk selalu berprestasi, terlihat sempurna di media sosial, dan bersaing dalam pasar global yang sangat kompetitif. Isu seperti burnout dan kecemasan adalah nyata bagi banyak dari kita. Laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2022 menunjukkan peningkatan signifikan kasus depresi dan kecemasan global, yang sering dikaitkan dengan tekanan hidup modern.






