Dunia Sudah Tak Ramah Lagi bagi Boomer?

Dunia Sudah Tak Ramah Lagi bagi Boomer?
Dunia Sudah Tak Ramah Lagi bagi Boomer? (www.freepik.com)(www.freepik.com)

lombokprime.com – Bayangkan, Generasi Baby Boomer, yang lahir antara tahun 1946 dan 1964, tumbuh besar di sebuah dunia yang jauh berbeda dari apa yang kita kenal hari ini. Era pasca-perang yang penuh harapan, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan masyarakat yang cenderung lebih homogen adalah latar belakang mereka. Nilai-nilai seperti kerja keras, loyalitas pada perusahaan, stabilitas keluarga, dan komunitas yang erat adalah pilar utama kehidupan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, pilar-pilar ini mulai bergeser, bahkan runtuh, digantikan oleh struktur yang sama sekali baru.

Generasi ini menyaksikan bangkitnya televisi sebagai media dominan, telepon rumah sebagai satu-satunya alat komunikasi jarak jauh, dan mesin tik sebagai teknologi perkantoran tercanggih. Mereka juga mengalami masa-masa penuh gejolak sosial, seperti gerakan hak sipil dan perang dingin, yang membentuk pandangan dunia mereka tentang keadilan, keamanan, dan identitas. Dunia yang mereka bangun dan tempati adalah dunia yang terasa lebih terstruktur, lebih prediktif, dan mungkin, lebih “analog.”

Revolusi Digital: Ketika Dunia Berubah Menjadi Kode Biner

Salah satu faktor terbesar yang membuat banyak Boomer merasa terasing adalah revolusi digital yang mengubah segalanya. Bayangkan saja, mereka tumbuh di era tanpa internet, tanpa ponsel pintar, tanpa media sosial. Komunikasi terjadi tatap muka, melalui surat, atau telepon rumah. Informasi diperoleh dari buku, koran, atau televisi. Dunia bergerak dengan kecepatan yang berbeda.

Gempuran Teknologi yang Tak Terbendung

Saat ini, kita hidup di era internet super cepat, media sosial yang menghubungkan miliaran orang, dan aplikasi yang memenuhi hampir setiap kebutuhan. Dari memesan makanan, membayar tagihan, hingga mencari informasi, semuanya kini bisa dilakukan hanya dengan sentuhan jari. Bagi generasi yang terbiasa dengan proses manual dan linear, adaptasi terhadap kecepatan dan kompleksitas teknologi ini bisa jadi sangat menantang.

Misalnya, proses perbankan online yang bagi generasi muda sudah lumrah, bisa jadi terasa rumit dan tidak aman bagi Boomer. Mereka mungkin lebih nyaman datang ke bank, berinteraksi langsung dengan teller, dan memegang bukti transaksi fisik. Penggunaan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp atau Telegram, yang bagi kita adalah alat komunikasi utama, mungkin terasa invasif atau membingungkan bagi mereka yang lebih menyukai panggilan telepon langsung atau percakapan tatap muka. Bahkan, istilah-istilah seperti “cloud computing,” “blockchain,” atau “algoritma” bisa terdengar seperti bahasa asing yang kompleks dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Jejak Digital dan Privasi

Selain itu, konsep jejak digital dan privasi online juga menjadi area ketidaknyamanan. Boomer tumbuh di era di mana informasi pribadi tidak mudah terekspos. Ide bahwa setiap aktivitas online dapat dilacak, setiap foto dapat disebar, dan setiap data dapat dianalisis adalah sesuatu yang asing dan bahkan menakutkan bagi mereka. Kekhawatiran akan keamanan data dan potensi penipuan online juga seringkali membuat mereka enggan untuk sepenuhnya merangkul teknologi digital.

Ini bukan berarti mereka menolak teknologi sepenuhnya. Banyak Boomer yang berusaha keras untuk belajar dan beradaptasi. Namun, tingkat kecepatan perubahan dan kompleksitasnya terkadang melampaui kemampuan mereka untuk mengikuti, menimbulkan perasaan frustrasi dan tertinggal. Mereka mungkin merasa bahwa dunia ini berjalan terlalu cepat, meninggalkan mereka dengan pertanyaan dan keraguan tentang bagaimana berinteraksi dengan realitas baru ini.

Nilai Sosial yang Bergeser: Jembatan Antar Generasi yang Hilang

Selain teknologi, pergeseran nilai sosial juga menjadi faktor penting yang membuat Boomer merasa tidak cocok. Nilai-nilai yang mereka pegang teguh selama ini, yang dianggap sebagai fondasi masyarakat, kini terasa dipertanyakan atau bahkan digantikan oleh nilai-nilai baru yang kadang mereka sulit pahami.

Individualisme vs. Kolektivisme

Generasi Boomer tumbuh di era di mana kolektivisme dan komunitas memegang peranan penting. Lingkungan tempat mereka dibesarkan seringkali menekankan pentingnya keluarga besar, tetangga, dan institusi sosial seperti gereja atau klub. Solidaritas dan dukungan timbal balik adalah hal yang alami. Namun, dunia modern saat ini cenderung lebih berorientasi pada individualisme. Penekanan pada ekspresi diri, kebebasan personal, dan pencapaian individu seringkali lebih diutamakan.

Bagi Boomer, hal ini bisa terasa seperti pengabaian terhadap ikatan sosial yang kuat. Mereka mungkin melihat kurangnya interaksi langsung antar tetangga, atau generasi muda yang lebih fokus pada karier dan perjalanan pribadi dibandingkan dengan membangun keluarga dan komunitas tradisional. Konflik nilai ini bisa memunculkan perasaan kesepian atau terasing, seolah-olah fondasi masyarakat yang mereka kenal telah berubah.

Konsep Kerja dan Loyalitas

Dalam dunia Boomer, loyalitas terhadap perusahaan adalah hal yang sangat dihargai. Seseorang diharapkan bekerja di satu perusahaan selama puluhan tahun, meniti karier, dan pensiun dari sana. Pekerjaan dipandang sebagai bagian dari identitas dan stabilitas hidup. Namun, saat ini, pasar kerja lebih dinamis. Konsep “job hopping” atau berpindah-pindah pekerjaan untuk mencari pengalaman dan gaji yang lebih baik adalah hal yang umum. Pekerja muda lebih memprioritaskan keseimbangan hidup dan kerja, serta tujuan pribadi, dibandingkan dengan hanya loyal pada satu perusahaan.

Perbedaan pandangan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Boomer mungkin melihat generasi muda sebagai kurang berkomitmen atau kurang gigih, sementara generasi muda mungkin melihat Boomer sebagai terlalu kaku dan tidak fleksibel. Perbedaan filosofi kerja ini seringkali menjadi sumber gesekan, terutama di lingkungan profesional.

Toleransi dan Inklusivitas

Isu-isu seperti identitas gender, orientasi seksual, dan keragaman budaya yang kini lebih terbuka dibahas, juga merupakan area yang mungkin sulit dipahami sepenuhnya oleh sebagian Boomer. Mereka tumbuh di era yang cenderung lebih konservatif dan homogen. Meskipun banyak Boomer yang beradaptasi dan menerima perubahan ini, sebagian lainnya mungkin merasa terkejut atau bahkan tidak nyaman dengan keberagaman yang semakin luas dan tuntutan akan inklusivitas yang lebih besar.

Pembicaraan tentang keadilan sosial dan privilese yang sangat dominan di media sosial dan ruang publik saat ini, juga bisa jadi hal yang baru dan menantang bagi mereka. Boomer mungkin merasa bahwa dunia yang mereka kenal, di mana norma-norma tertentu dianggap baku, kini dipertanyakan dan didekonstruksi, menyebabkan mereka merasa kehilangan pijakan moral atau sosial.

Perubahan Budaya: Dari Norma Lama ke Realitas Baru

Selain teknologi dan nilai sosial, perubahan budaya juga berperan besar dalam perasaan ketidakcocokan Boomer. Cara kita berinteraksi, berekspresi, dan mengonsumsi informasi telah bergeser secara radikal.

Komunikasi dan Ekspresi Diri

Dunia Boomer adalah dunia di mana komunikasi formal dan tatap muka lebih diutamakan. Etiket dan norma sosial tertentu sangat dijunjung tinggi. Namun, kini, dengan dominasi media sosial, komunikasi digital menjadi lebih informal, ringkas, dan seringkali menggunakan singkatan atau emoji yang mungkin tidak mereka pahami. Batasan antara ranah pribadi dan publik juga menjadi semakin kabur.

Contohnya, fenomena influencer atau figur publik yang mendapatkan ketenaran melalui konten online bisa jadi sulit dicerna oleh Boomer. Mereka mungkin bertanya-tanya mengapa seseorang dengan latar belakang “biasa” bisa begitu populer dan memiliki pengaruh besar, dibandingkan dengan figur otoritas tradisional seperti politisi atau ilmuwan. Konsep “virality” dan “cancel culture” juga bisa terasa asing dan tidak adil bagi mereka.

Hiburan dan Konsumsi Media

Cara kita mengonsumsi hiburan juga telah berubah drastis. Boomer tumbuh dengan televisi nasional sebagai sumber utama hiburan, jadwal tayang yang tetap, dan film-film yang hanya bisa ditonton di bioskop. Kini, dengan platform streaming seperti Netflix, YouTube, atau TikTok, hiburan tersedia kapan saja, di mana saja, dan dalam berbagai format. Konten pendek, video vertikal, dan media interaktif adalah hal yang lumrah.

Bagi sebagian Boomer, format-format baru ini mungkin terasa asing atau bahkan kurang “berkualitas.” Mereka mungkin merindukan narasi yang lebih panjang, produksi yang lebih sinematik, atau program-program yang menghadirkan nilai-nilai yang lebih tradisional. Selain itu, overload informasi dari berbagai sumber juga bisa menyebabkan kebingungan dan kelelahan mental.

Kesehatan Mental dan Kesejahteraan

Perbincangan terbuka tentang kesehatan mental, burnout, dan pentingnya self-care juga merupakan fenomena yang lebih baru. Dalam budaya Boomer, isu-isu ini seringkali kurang dibicarakan secara terbuka atau bahkan dianggap sebagai “kelemahan.” Stigma terhadap masalah kesehatan mental masih kuat. Namun, kini, generasi muda lebih vokal dalam membahas dan mencari bantuan untuk masalah-masalah ini.

Perbedaan pendekatan terhadap kesejahteraan ini bisa menimbulkan kesenjangan pemahaman. Boomer mungkin melihat generasi muda sebagai terlalu “lembek” atau “sensitif,” sementara generasi muda mungkin merasa Boomer kurang empatik atau tidak memahami tekanan hidup modern.

Membangun Jembatan: Peran Kita dalam Memahami Boomer

Melihat berbagai alasan di atas, jelas bahwa perasaan “tidak cocok” yang dialami Generasi Baby Boomer adalah kompleks dan multifaset. Ini bukan soal mereka “tidak mau berubah,” melainkan lebih kepada adaptasi terhadap laju perubahan yang luar biasa cepat, yang bagi mereka terasa seperti pergeseran fondasi dunia yang mereka kenal.

Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, kita memiliki peran penting untuk membantu menjembatani kesenjangan ini.

Empati dan Kesabaran

Pertama dan yang paling utama, adalah empati dan kesabaran. Alih-alih meremehkan atau menghakimi, cobalah memahami perspektif mereka. Ingatlah bahwa mereka telah menyaksikan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Tawarkan bantuan dengan sabar saat mereka kesulitan dengan teknologi, jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, dan hargai usaha mereka untuk belajar.

Komunikasi Terbuka

Kedua, komunikasi terbuka sangatlah penting. Ajak mereka berdiskusi tentang perasaan dan kekhawatiran mereka. Dengarkan dengan seksama tanpa menghakimi. Jelaskan mengapa hal-hal tertentu berubah, dan bagaimana perubahan tersebut dapat membawa manfaat, meskipun mungkin terasa asing pada awalnya. Libatkan mereka dalam percakapan tentang tren dan isu terkini, bukan hanya sebagai pendengar pasif, tetapi sebagai bagian dari dialog.

Menghargai Pengalaman Mereka

Ketiga, hargai pengalaman dan kebijaksanaan yang mereka miliki. Generasi Boomer telah melewati banyak hal dan memiliki perspektif unik tentang kehidupan. Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari cerita dan pengalaman mereka. Dengan menghargai kontribusi mereka, kita bisa membangun rasa saling menghormati dan mengurangi perasaan terasing yang mungkin mereka alami.

Mencari Titik Temu

Terakhir, carilah titik temu dan kegiatan yang bisa dinikmati bersama. Mungkin ada teknologi yang bisa mereka gunakan dengan nyaman (misalnya, video call untuk berbicara dengan cucu), atau hobi yang bisa kita pelajari dari mereka. Ajak mereka berpartisipasi dalam aktivitas yang menggabungkan elemen tradisional dan modern, sehingga mereka merasa menjadi bagian dari arus utama tanpa harus meninggalkan identitas mereka sepenuhnya.

Meredakan Ketidaknyamanan: Menciptakan Ruang untuk Boomer

Pada akhirnya, perasaan tidak cocok yang dialami Generasi Baby Boomer adalah pengingat bahwa dunia ini terus berevolusi, dan setiap generasi memiliki tantangan adaptasinya sendiri. Daripada melihatnya sebagai masalah yang perlu diperbaiki, mari kita melihatnya sebagai kesempatan untuk lebih memahami satu sama lain. Dengan sedikit empati, kesabaran, dan upaya untuk membangun jembatan komunikasi, kita bisa membantu Boomer merasa lebih nyaman dan relevan di dunia modern, sambil tetap menghargai warisan dan kontribusi yang telah mereka berikan.

Dunia ini membutuhkan kebijaksanaan dari generasi tua dan energi dari generasi muda. Ketika kita bisa memahami dan mendukung satu sama lain, barulah kita bisa membangun masyarakat yang benar-benar inklusif dan harmonis, di mana setiap generasi merasa dihargai dan memiliki tempatnya sendiri. Ini bukan soal memaksakan mereka untuk berubah, tapi tentang bagaimana kita semua bisa tumbuh dan beradaptasi bersama, dengan saling menghargai perbedaan yang ada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *