Saat Dunia Berubah Terlalu Cepat: Boomers Tersisih, Millennials Tertekan?

Saat Dunia Berubah Terlalu Cepat: Boomers Tersisih, Millennials Tertekan?
Saat Dunia Berubah Terlalu Cepat: Boomers Tersisih, Millennials Tertekan? (www.freepik.com)

lombokprime.com – Perubahan dunia yang terlalu cepat seringkali menjadi biang keladi di balik perasaan bingung, cemas, atau bahkan frustrasi yang dialami oleh berbagai generasi, terutama Boomers dan Millennials. Boomers, yang tumbuh di era pasca-perang dengan stabilitas dan kesempatan yang berbeda, mungkin merasa tersisih oleh gelombang inovasi dan nilai-nilai baru. Sementara itu, Millennials, yang lahir di tengah atau menjelang revolusi digital, justru merasa terbebani oleh ekspektasi yang terus meningkat dan tekanan ekonomi yang tak ada habisnya. Mari kita selami lebih dalam mengapa fenomena ini terjadi dan bagaimana kita bisa membangun jembatan antar generasi.

Sensasi Ketidakpastian di Tengah Arus Perubahan

Dulu, dunia terasa lebih bisa diprediksi. Orang-orang mengikuti jalur karier yang jelas, membangun keluarga, dan memiliki ekspektasi yang relatif seragam tentang masa depan. Namun, kini semua itu berubah drastis. Teknologi informasi berkembang pesat, ekonomi global saling terkait, dan nilai-nilai sosial terus berevolusi. Perubahan ini, meskipun membawa banyak kemajuan, juga menciptakan ketidakpastian yang signifikan.

Bagi generasi Boomers, misalnya, transisi dari era analog ke digital mungkin terasa seperti melompat ke dunia yang sama sekali baru tanpa peta. Mereka mungkin merasa bahwa keahlian yang mereka miliki menjadi kurang relevan, atau cara-cara lama yang mereka pahami sudah tidak lagi efektif. Sementara itu, Millennials dihadapkan pada realitas di mana keberhasilan finansial tidak lagi semudah yang dicapai generasi sebelumnya, ditambah lagi dengan tekanan untuk selalu “on” dan terhubung di dunia serba digital.

Boomers: Menjelajahi Lanskap Baru dengan Memori Lama

Generasi Boomers, yang umumnya lahir antara tahun 1946 dan 1964, tumbuh di masa pembangunan dan kemakmuran relatif. Mereka menyaksikan lahirnya televisi, pertumbuhan industri, dan stabilitas pekerjaan yang lebih besar. Mereka seringkali dikenal dengan etos kerja yang kuat, loyalitas terhadap perusahaan, dan pandangan hidup yang cenderung lebih konservatif.

Mengapa Boomers Merasa Tersisih?

Ketika internet dan media sosial mulai mendominasi, banyak Boomers mungkin merasa ketinggalan. Istilah-istilah baru, platform digital yang rumit, dan cara berkomunikasi yang berbeda bisa jadi membingungkan. Mereka mungkin merasa bahwa pengalaman dan kebijaksanaan yang mereka kumpulkan selama bertahun-tahun kurang dihargai di dunia yang mendewakan kecepatan dan inovasi. Ada rasa kehilangan relevansi ketika dunia berubah begitu cepat, dan mereka merasa terpinggirkan dari percakapan atau proses pengambilan keputusan.

Selain itu, nilai-nilai yang mereka anut seperti stabilitas pekerjaan dan kepemilikan rumah tangga yang terjamin, seringkali sulit diwujudkan oleh generasi yang lebih muda. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman, di mana Boomers mungkin melihat Millennials sebagai kurang gigih atau terlalu mudah menyerah, padahal realitas ekonomi dan sosial yang dihadapi jauh berbeda.

Millennials: Terbebani di Era Digital dan Ekonomi yang Bergejolak

Generasi Millennials, yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an, adalah generasi pertama yang tumbuh besar dengan internet. Mereka adalah “digital native” yang akrab dengan teknologi dan informasi yang melimpah. Namun, di balik kemudahan akses ini, ada beban dan tekanan yang luar biasa.

Beban Berat di Pundak Millennials

Millennials seringkali menghadapi tantangan ekonomi yang unik. Kenaikan biaya pendidikan, harga properti yang melambung tinggi, dan gaji yang tidak selalu seimbang dengan inflasi, membuat impian memiliki rumah atau mencapai kemapanan finansial terasa semakin jauh. Mereka juga seringkali terjebak dalam budaya kerja yang menuntut lebih, dengan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang semakin kabur berkat perangkat digital.

Tekanan sosial juga tak kalah besar. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat penghubung, justru seringkali menjadi panggung perbandingan yang tak sehat. Millennials merasa perlu untuk menampilkan citra yang sempurna, mencapai “goals” tertentu, dan mengikuti tren terbaru. Ini menciptakan tekanan psikologis yang signifikan, memicu kecemasan dan sindrom burnout. Belum lagi, tuntutan untuk menjadi agen perubahan sosial di tengah isu-isu global yang kompleks, membuat pundak mereka terasa semakin berat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *