Dulu Dianggap Mewah, Kini Malah Jadi Simbol Norak!

Buatkan gambar: Emak-emak indonesia memamerkan perhiasan emas yang dipakai, mulai dari gelang, kalung cincin.
Buatkan gambar: Emak-emak indonesia memamerkan perhiasan emas yang dipakai, mulai dari gelang, kalung cincin. (www.freepik.com)

lombokprime.com – Pernahkah kamu merasa, dulu ada hal-hal yang begitu diidamkan, dianggap puncak kemewahan dan penanda status sosial, tapi sekarang malah dicibir atau bahkan dianggap norak? Fenomena ini bukan hal baru. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai berubah, tren bergeser, dan apa yang dulu menjadi simbol prestise bisa saja kehilangan gaungnya, bahkan menjadi bahan tertawaan. Ini adalah perjalanan menarik tentang bagaimana persepsi publik membolak-balikkan arti kemewahan dan status, dari puja-puji hingga olok-olok.

Kita semua ingin diakui, bukan? Dorongan untuk menunjukkan keberhasilan dan status sosial sudah ada sejak zaman dahulu kala. Dulu, mungkin itu adalah kuda terbaik, perhiasan langka, atau tanah yang luas. Di era modern, wujudnya berubah menjadi mobil mewah, jam tangan mahal, tas desainer, atau bahkan gadget terbaru. Namun, seiring waktu, beberapa simbol ini mengalami pergeseran drastis dalam persepsi publik. Apa yang dulunya “keren” dan “berkelas” kini bisa jadi dianggap ketinggalan zaman, berlebihan, atau bahkan, norak.

Mengapa Pergeseran Ini Terjadi? Memahami Dinamika Tren dan Persepsi

Ada banyak faktor yang berkontribusi pada fenomena ini. Salah satunya adalah perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Generasi muda, misalnya, seringkali lebih menghargai pengalaman daripada kepemilikan materi. Mereka mencari keaslian, keberlanjutan, dan hal-hal yang memiliki makna personal, bukan sekadar logo merek yang menempel di mana-mana. Ini menciptakan pergeseran paradigma tentang apa yang sesungguhnya “bernilai” atau “prestise.”

1. Hegemoni Merek dan Kejenuhan Pasar

Dulu, memiliki barang bermerek tertentu adalah penanda eksklusivitas. Ketika suatu merek menjadi sangat populer dan dijangkau oleh banyak orang, ia kehilangan aura eksklusivitasnya. Ibaratnya, jika semua orang punya, apa bedanya? Ketika sebuah merek yang dulunya melambangkan kemewahan kini bisa ditemukan di mana-mana, ia kehilangan daya tariknya sebagai penanda status.

Bayangkan saja tas dengan logo besar yang sangat mencolok. Awalnya, mungkin itu adalah barang impian. Namun, ketika replika bertebaran di mana-mana, atau bahkan versi aslinya terlalu sering terlihat, ia kehilangan daya pikatnya. Merek-merek mewah yang pintar justru belajar dari ini, mereka mulai bergerak ke arah desain yang lebih subtil, kualitas yang lebih terasa, dan cerita di balik produk yang lebih mendalam, bukan sekadar pamer logo. Mereka menyadari bahwa konsumen cerdas mencari lebih dari sekadar nama besar.

2. Pergeseran Definisi Kemewahan: Dari Materi ke Pengalaman

Definisi kemewahan itu sendiri telah berevolusi. Dulu, kemewahan identik dengan barang-barang mahal. Sekarang? Kemewahan bisa berarti memiliki waktu luang, pengalaman tak terlupakan, ketenangan pikiran, atau kesehatan yang prima. Orang-orang semakin sadar bahwa kebahagiaan sejati tidak melulu berasal dari kepemilikan, melainkan dari bagaimana kita menjalani hidup.

Liburan ke tempat terpencil yang menenangkan, mengikuti kelas memasak di luar negeri, atau sekadar memiliki waktu berkualitas bersama keluarga dan teman-teman, seringkali dianggap lebih mewah daripada sekadar membeli jam tangan baru. Ini adalah pergeseran dari “memiliki” menjadi “mengalami.” Dan dalam konteks ini, simbol prestise yang kaku dan mencolok bisa terasa kontras dengan nilai-nilai baru ini.

3. Etika Konsumsi dan Kesadaran Sosial

Konsumen modern semakin peduli terhadap etika dan keberlanjutan. Mereka ingin tahu dari mana produk berasal, bagaimana dibuat, dan apakah merek tersebut bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Memamerkan kekayaan tanpa memperhatikan asal-usul atau dampak sosialnya bisa jadi bumerang.

Misalnya, membeli barang-barang yang diproduksi dengan cara yang tidak etis atau yang merusak lingkungan, meskipun mahal, justru bisa membuat seseorang dicap negatif. Ini berbeda dengan era sebelumnya di mana “barang mahal” otomatis berarti “barang bagus” dan “prestise.” Sekarang, ada lapisan penilaian etis yang lebih dalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *