Gen Z Mager? Salah! Mereka Cuma Nggak Mau Diperbudak

Gen Z Mager? Salah! Mereka Cuma Nggak Mau Diperbudak
Gen Z Mager? Salah! Mereka Cuma Nggak Mau Diperbudak (www.freepik.com)

Lombokprime.com – Pernah nggak sih kamu dengar celetukan, “Ah, Gen Z itu maunya kerja enak, nggak mau capek!” atau “Mereka cuma mikirin work-life balance aja, etos kerjanya mana?” Kalimat-kalimat semacam itu seringkali terlontar ketika membahas bagaimana Gen Z bekerja. Tapi, benarkah demikian? Apakah generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an ini benar-benar anti-kerja keras, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik semua asumsi tersebut? Yuk, kita bedah bareng-bareng!

Benarkah Gen Z Anti-Kerja Keras? Mari Kita Lihat Lebih Dekat

Seringkali, label “malas” atau “anti-capek” melekat pada Gen Z karena mereka dianggap terlalu vokal tentang work-life balance, kesehatan mental, dan lingkungan kerja yang positif. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin cenderung menerima segala kondisi demi pekerjaan, Gen Z lebih berani menyuarakan apa yang mereka inginkan dan butuhkan dari sebuah tempat kerja. Ini bukan berarti mereka tidak mau bekerja keras, lho. Justru sebaliknya, mereka ingin kerja keras yang bermakna dan berkelanjutan. Mereka mencari lingkungan di mana kontribusi mereka dihargai, bukan sekadar dieksploitasi hingga batas.

Gen Z dan Filosofi Kerja yang Berbeda

Untuk memahami pola pikir Gen Z, kita perlu melihat latar belakang mereka. Generasi ini tumbuh di era digital yang serba cepat, di mana informasi mudah diakses dan konektivitas global adalah hal yang lumrah. Mereka melihat bagaimana pola kerja burnout mempengaruhi generasi sebelumnya, dan mereka belajar dari pengalaman tersebut. Oleh karena itu, Gen Z tidak hanya mencari gaji tinggi, tetapi juga:

  • Tujuan yang Jelas: Mereka ingin tahu dampak pekerjaan mereka. Kontribusi apa yang bisa mereka berikan? Bagaimana pekerjaan mereka sejalan dengan nilai-nilai pribadi?
  • Fleksibilitas: Mereka tumbuh dengan internet dan teknologi, terbiasa dengan cara kerja yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Konsep kerja remote atau hybrid bukanlah hal baru bagi mereka, melainkan norma yang diinginkan.
  • Kesehatan Mental dan Kesejahteraan: Isu kesehatan mental bukanlah tabu bagi Gen Z. Mereka sadar pentingnya menjaga kesehatan mental demi produktivitas jangka panjang. Lingkungan kerja yang suportif dan tidak toksik adalah prioritas utama.
  • Kesempatan Belajar dan Berkembang: Gen Z sangat haus akan pengetahuan dan skill baru. Mereka ingin pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk terus belajar, berinovasi, dan mengembangkan diri.
  • Pengakuan dan Feedback: Mereka menghargai feedback yang konstruktif dan pengakuan atas usaha mereka. Bukan hanya sekadar pujian kosong, tetapi pengakuan yang tulus dan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Mencari Makna di Balik Rutinitas: Bukan Hanya Soal Gaji

Mari kita jujur, siapa sih yang nggak mau gaji besar? Tapi bagi Gen Z, uang bukan satu-satunya penentu kebahagiaan atau motivasi. Mereka melihat uang sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup, bukan tujuan itu sendiri. Banyak dari mereka yang rela mengambil pekerjaan dengan gaji sedikit lebih rendah jika pekerjaan itu menawarkan fleksibilitas, lingkungan kerja yang positif, atau peluang untuk mengejar passion mereka.

Sebagai contoh, bayangkan seorang Gen Z yang sangat peduli lingkungan. Mereka mungkin akan lebih tertarik bekerja di startup eco-friendly dengan gaji yang kompetitif, dibandingkan korporasi besar yang kurang memperhatikan dampak lingkungannya, meskipun korporasi itu menawarkan gaji yang jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa nilai dan makna pekerjaan jauh lebih penting bagi mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *