lombokprime.com – Di tengah derasnya arus budaya hustle yang sering kali terasa menyesakkan, generasi Z (Gen Z) hadir dengan membawa angin segar berupa pilihan taktis: memperjuangkan work-life balance atau memilih jalur quiet quitting. Kedua pendekatan ini menjadi representasi dari bagaimana generasi muda ini menyikapi tekanan pekerjaan yang intens dan keinginan untuk memiliki kehidupan yang lebih bermakna di luar urusan profesional. Mari kita telaah lebih dalam fenomena ini dan bagaimana Gen Z mendefinisikan ulang kesuksesan dan kesejahteraan di era modern ini.
Mengapa Gen Z Mencari Alternatif dari Budaya Hustle?
Budaya hustle, dengan narasi tanpa henti tentang bekerja keras, lembur, dan menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama, telah lama mendominasi dunia profesional. Namun, bagi Gen Z, yang tumbuh di era digital dengan akses tak terbatas ke informasi dan kesadaran yang lebih tinggi tentang isu kesehatan mental, narasi ini mulai terasa usang dan bahkan berbahaya. Beberapa alasan mendasar mengapa Gen Z mencari alternatif adalah:
- Kesadaran akan Kesehatan Mental: Gen Z adalah generasi yang lebih terbuka dan sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka menyaksikan dampak negatif dari budaya kerja yang berlebihan pada generasi sebelumnya dan tidak ingin mengulanginya. Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa Gen Z lebih mungkin untuk membicarakan masalah kesehatan mental dan mencari bantuan profesional jika dibutuhkan. Sebuah studi oleh Deloitte pada tahun 2023 menemukan bahwa isu burnout dan stres kerja menjadi perhatian utama bagi Gen Z dan Millenial.
- Prioritas pada Pengalaman dan Keseimbangan: Bagi Gen Z, hidup bukan hanya tentang meniti karier. Mereka menghargai pengalaman, pertumbuhan pribadi, hubungan sosial, dan waktu untuk mengejar minat di luar pekerjaan. Work-life balance bukan lagi sekadar buzzword, tetapi sebuah kebutuhan mendasar untuk menjalani hidup yang memuaskan. Mereka lebih memilih pekerjaan yang memberikan fleksibilitas dan menghargai waktu pribadi.
- Kritik terhadap Produktivitas yang Berlebihan: Gen Z mempertanyakan efektivitas dari bekerja berjam-jam tanpa henti. Mereka menyadari bahwa kuantitas jam kerja tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hasil kerja. Mereka lebih fokus pada efisiensi, produktivitas yang cerdas, dan hasil yang nyata daripada sekadar menghabiskan waktu di kantor.
- Dampak Sosial Media: Paparan tanpa henti terhadap gaya hidup yang tampak sempurna di media sosial juga memainkan peran. Gen Z melihat bahwa banyak orang yang sukses juga memiliki kehidupan di luar pekerjaan. Hal ini memicu keinginan untuk mencapai keseimbangan yang serupa.
- Pengalaman Krisis Global: Tumbuh di tengah berbagai krisis global, seperti pandemi COVID-19, mengajarkan Gen Z tentang kerapuhan hidup dan pentingnya menghargai waktu dan hubungan. Mereka menyadari bahwa pekerjaan hanyalah salah satu aspek dari kehidupan, dan kesejahteraan secara keseluruhan jauh lebih penting.
Memahami Lebih Dalam: Work-Life Balance bagi Gen Z
Bagi Gen Z, work-life balance bukan sekadar membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ini adalah tentang menciptakan harmoni dan integrasi antara kedua aspek tersebut. Beberapa karakteristik dari work-life balance versi Gen Z meliputi:
- Fleksibilitas Waktu dan Lokasi Kerja: Gen Z sangat menghargai fleksibilitas dalam bekerja. Mereka menginginkan opsi untuk bekerja dari mana saja (remote work) atau memiliki jam kerja yang lebih fleksibel yang memungkinkan mereka untuk mengatur waktu sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pribadi. Sebuah laporan dari McKinsey pada tahun 2023 menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja menjadi salah satu faktor utama yang dipertimbangkan Gen Z saat memilih pekerjaan.
- Batasan yang Jelas antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi: Gen Z cenderung lebih tegas dalam menetapkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka tidak ragu untuk mematikan notifikasi pekerjaan di luar jam kerja atau menolak tugas tambahan jika merasa sudah melampaui kapasitas. Mereka memahami pentingnya memiliki waktu istirahat yang berkualitas untuk menjaga kesehatan mental dan fisik.
- Fokus pada Kesejahteraan Holistik: Work-life balance bagi Gen Z mencakup lebih dari sekadar tidak bekerja terlalu banyak. Ini juga melibatkan perhatian pada kesehatan fisik, mental, emosional, dan sosial. Mereka aktif mencari cara untuk mengelola stres, berolahraga, menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih, dan mengejar hobi.
- Pekerjaan yang Bermakna dan Selaras dengan Nilai: Gen Z tidak hanya mencari pekerjaan yang membayar dengan baik, tetapi juga pekerjaan yang memberikan makna dan selaras dengan nilai-nilai pribadi mereka. Mereka ingin merasa bahwa pekerjaan mereka memberikan kontribusi positif bagi masyarakat atau lingkungan. Ketika pekerjaan terasa bermakna, batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bisa menjadi lebih fleksibel, namun tetap dengan kesadaran untuk menjaga keseimbangan.
- Penggunaan Teknologi yang Bijak: Meskipun tumbuh di era digital, Gen Z juga menyadari potensi negatif dari ketergantungan berlebihan pada teknologi. Mereka berusaha untuk menggunakan teknologi secara bijak untuk meningkatkan efisiensi kerja tanpa mengorbankan waktu dan perhatian untuk kehidupan di luar pekerjaan.
Quiet Quitting: Ketika Kekecewaan Berujung pada Ketidakpedulian
Fenomena quiet quitting menjadi perbincangan hangat belakangan ini, terutama di kalangan Gen Z. Secara sederhana, quiet quitting adalah praktik di mana karyawan melakukan tidak lebih dari apa yang tertulis dalam deskripsi pekerjaan mereka. Mereka tidak lagi berusaha untuk melampaui ekspektasi atau mengambil inisiatif tambahan. Ini bukanlah tentang berhenti dari pekerjaan secara harfiah, melainkan tentang “berhenti” secara emosional dan mental.
Beberapa alasan mengapa Gen Z mungkin memilih quiet quitting sebagai respons terhadap budaya hustle adalah:






