lombokprime.com – Media sosial mengubah cara generasi milenial dan Gen Z memandang pernikahan, membentuk harapan yang terkadang realistis, terkadang juga membawa kita pada ilusi. Di era digital ini, setiap postingan, setiap cerita, dan setiap video bisa menjadi jendela ke dunia pernikahan yang (terlihat) sempurna, yang kemudian tanpa sadar memengaruhi bagaimana kita sendiri membayangkan hari bahagia itu.
Kenapa Media Sosial Begitu Memikat Hati Kita?
Tidak bisa dimungkiri, media sosial adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Sejak bangun tidur hingga kembali terlelap, kita disuguhi beragam konten, termasuk tentang pernikahan. Mulai dari video lamaran romantis, foto pre-wedding yang artistik, hingga resepsi mewah yang bak negeri dongeng, semuanya terpampang nyata di lini masa.
Fenomena ini sejatinya memberikan banyak inspirasi. Kita bisa melihat tren dekorasi terbaru, ide busana pernikahan yang unik, hingga konsep pesta yang tidak biasa. Namun, di balik semua keindahan itu, ada sisi lain yang perlu kita cermati bersama. Seringkali, apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah bagian terbaik, yang telah melewati proses kurasi dan editan ketat.
Menjelajahi Harapan yang Terbentuk dari Layar Kaca
Generasi milenial dan Gen Z tumbuh besar di tengah banjir informasi ini. Perbandingan menjadi tak terhindarkan. Tanpa sadar, kita mulai membandingkan momen penting dalam hidup kita dengan apa yang kita lihat di media sosial. Pernikahan, sebagai salah satu milestone besar, menjadi sangat rentan terhadap fenomena ini.
Pergeseran Definisi “Pernikahan Impian”
Dulu, pernikahan impian mungkin hanya berdasarkan cerita dari orang tua atau film romantis. Kini, definisi itu diperkaya, bahkan mungkin didominasi, oleh gambar dan video yang viral. Pasangan ingin memiliki foto pre-wedding seindah selebriti, dekorasi yang semewah influencer, atau cincin lamaran yang sebesar bintang di media sosial.
Hal ini bisa menjadi pendorong kreativitas, namun juga bisa menimbulkan tekanan besar. Anggaran yang terbatas, kondisi keluarga yang berbeda, atau preferensi pribadi seringkali harus berhadapan dengan “standar” yang seolah ditetapkan oleh media sosial. Alhasil, ada kecenderungan untuk mengejar kesempurnaan visual daripada esensi dari sebuah pernikahan itu sendiri.
Tekanan untuk Tampil Sempurna di Setiap Momen
Bukan hanya soal hari H, bahkan proses menuju pernikahan pun tak luput dari sorotan media sosial. Mulai dari prosesi lamaran, sesi fitting baju, hingga bridal shower, semuanya didokumentasikan dan diunggah. Ada semacam tuntutan tidak tertulis untuk selalu tampil sempurna, romantis, dan bahagia di setiap postingan.
Tekanan ini bisa jadi melelahkan. Pasangan mungkin merasa harus terus-menerus membagikan momen-momen intim, bukan karena keinginan tulus, melainkan karena merasa “harus” agar terlihat seperti pasangan lain yang berbahagia di media sosial. Ini bisa mengikis keaslian dan spontanitas dalam hubungan, karena setiap tindakan seolah harus “layak posting”.
Realita vs. Ilusi: Memilah Mana yang Nyata
Penting bagi kita untuk memahami bahwa apa yang kita lihat di media sosial adalah versi yang sudah terfiltrasi. Tidak ada pasangan yang sempurna 24/7, dan tidak ada pernikahan yang bebas masalah. Namun, di media sosial, yang ditampilkan adalah sisi terbaik, yang paling indah, dan yang paling membahagiakan.
Kisah di Balik Layar yang Tak Terlihat
Di balik foto pernikahan yang megah, mungkin ada drama keluarga yang melelahkan. Di balik senyum bahagia di pelaminan, mungkin ada ketegangan akibat persiapan yang rumit. Media sosial jarang menampilkan sisi-sisi ini. Kita hanya melihat puncak gunung es, tanpa mengetahui kedalaman lautan di bawahnya.
Ini bisa menimbulkan ilusi bahwa pernikahan adalah perjalanan yang mulus dan selalu dipenuhi kebahagiaan. Ketika kemudian kita sendiri menghadapi tantangan dalam hubungan atau pernikahan, kita mungkin merasa ada yang salah dengan diri kita atau pasangan, karena realitas tidak sesuai dengan ekspektasi yang terbentuk dari media sosial.






