Kadang tanpa disadari, kita justru tertarik pada orang toxic — mereka yang sering menciptakan konflik, manipulatif, atau membuat hubungan terasa seperti roller coaster emosi. Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya: kenapa saya selalu suka pasangan bermasalah? dan kenapa sulit lepas dari hubungan penuh drama?
Dalam dunia psikologi hubungan drama, ada penjelasan yang cukup dalam tentang mengapa seseorang bisa tertarik pada hubungan yang bermasalah, serta bagaimana cara keluar dari siklus itu.
Daya Tarik Orang Toxic: Kenapa Bisa Begitu Memikat?
Meski terdengar tidak masuk akal, orang toxic sering kali memancarkan daya tarik kuat. Mereka bisa tampak karismatik, penuh perhatian di awal, dan memberi sensasi emosional yang intens. Di balik semua itu, ada mekanisme psikologis yang bekerja.
1. Harga Diri yang Rendah Membuat Kita Menerima yang Tidak Sehat
Orang dengan harga diri rendah sering kali merasa tidak pantas mendapatkan cinta atau perlakuan yang baik.
Mereka terbiasa berpikir, “Mungkin ini memang batas kemampuanku dicintai.”
Perasaan tidak layak ini membuat mereka menoleransi perlakuan buruk, bahkan ketika hati kecil mereka tahu itu salah.
Menurut penelitian dari Journal of Personality and Social Psychology, individu dengan self-esteem rendah cenderung lebih mudah bertahan dalam hubungan tidak sehat karena takut kehilangan koneksi emosional. Mereka memilih rasa sakit yang familiar daripada kesepian yang menakutkan.
2. Siklus Drama yang Membuat Kecanduan (Penguatan Terputus-putus)
Dalam hubungan toxic, sering ada pola: hari ini penuh cinta dan perhatian, besok penuh pertengkaran dan dingin hati.
Pola ini disebut penguatan intermiten — sebuah siklus yang membuat otak kecanduan.
Setiap kali pasangan toxic menunjukkan kasih sayang setelah masa penuh konflik, otak kita melepaskan dopamin, hormon yang menimbulkan rasa bahagia. Akibatnya, kita malah “mengejar” momen bahagia itu lagi dan lagi, meskipun harus melalui luka emosional berulang.
Ini sama seperti seseorang yang kecanduan permainan atau judi — bukan karena selalu menang, tapi karena kadang-kadang menang.
3. Luka Batin dari Masa Lalu yang Tak Disadari
Banyak orang yang tumbuh di lingkungan keluarga penuh konflik tanpa sadar menganggap “drama” sebagai hal normal.
Jika sejak kecil kita terbiasa melihat pertengkaran, manipulasi, atau kasih sayang yang bersyarat, otak kita menganggap pola itu sebagai cinta.
Inilah yang disebut repetition compulsion dalam psikologi: dorongan untuk mengulangi pengalaman masa lalu yang belum sembuh. Kita secara tidak sadar mencari pasangan yang memunculkan luka lama, dengan harapan bisa “memperbaikinya” — padahal justru makin terluka.
4. Ketergantungan Emosional yang Menyamar Sebagai Cinta
Orang toxic sering kali pandai membuat kita merasa bahwa kita tidak bisa hidup tanpa mereka.
Di awal, mereka memberi validasi berlebihan — membuat kita merasa spesial dan dibutuhkan. Tapi setelah itu, mereka perlahan menarik kembali perhatian, menciptakan kecemasan.
Kita jadi terus berusaha “memperbaiki hubungan” agar kembali ke masa indah itu.
Inilah bentuk ketergantungan emosional, bukan cinta sejati. Hubungan semacam ini menguras energi dan harga diri, tapi membuat kita sulit melepaskan diri karena sudah terikat secara emosional dan hormonal.
5. Kebutuhan Validasi dan Sensasi
Sebagian orang tanpa sadar mencari drama untuk merasa hidup atau diperhatikan.
Dalam psikologi, ini berkaitan dengan kebutuhan validasi eksternal — merasa berharga hanya jika ada orang lain yang mengakui atau memperhatikan.
Ketika hubungan tenang dan stabil, mereka merasa bosan. Karena itu, tanpa sadar mereka “memancing” konflik agar kembali mendapatkan perhatian atau emosi intens. Pola ini sering muncul pada individu dengan kepribadian histrionik atau mereka yang belum menyembuhkan luka batin masa kecil.






