4. Adanya “Anak Emas” dan “Kambing Hitam”
Dinamika keluarga yang tidak sehat seringkali ditandai dengan adanya peran-peran yang kaku, seperti “anak emas” yang selalu dipuji dan diistimewakan, serta “kambing hitam” yang selalu disalahkan dan menjadi sasaran kritik. Peran-peran ini menciptakan ketidakadilan dan rasa sakit hati bagi anggota keluarga yang merasa diperlakukan tidak adil. Anak emas mungkin tumbuh menjadi pribadi yang narsis dan kurang memiliki empati, sementara kambing hitam bisa mengalami masalah harga diri dan merasa tidak dicintai. Pola ini sulit diubah dan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi.
5. Terlalu Fokus pada Penampilan Luar
Keluarga yang bermasalah seringkali terlalu fokus pada bagaimana mereka terlihat di mata orang lain. Mereka berusaha keras untuk menciptakan citra keluarga yang sempurna, mulai dari penampilan fisik, prestasi anak-anak, hingga gaya hidup yang mewah. Segala sesuatu diatur sedemikian rupa agar tampak ideal di media sosial atau saat berkumpul dengan teman dan kerabat. Namun, di balik layar, mereka mungkin sedang berjuang dengan masalah keuangan, perselingkuhan, atau masalah kesehatan mental. Fokus yang berlebihan pada penampilan luar ini sebenarnya adalah upaya untuk menutupi ketidakbahagiaan dan kekosongan di dalam.
6. Kurangnya Empati dan Dukungan Emosional
Ketika salah satu anggota keluarga sedang mengalami kesulitan atau membutuhkan dukungan, keluarga yang retak mungkin gagal memberikan respons yang empatik dan suportif. Mereka mungkin meremehkan masalah yang dihadapi, memberikan nasihat yang tidak membantu, atau bahkan menyalahkan orang yang sedang kesulitan. Kurangnya empati ini membuat anggota keluarga merasa sendirian dan tidak dipahami, bahkan di tengah-tengah orang-orang terdekatnya. Dukungan emosional yang seharusnya menjadi sumber kekuatan justru tidak ada, memperburuk kondisi mental dan emosional anggota keluarga.
7. Batasan yang Tidak Sehat atau Tidak Jelas
Batasan yang sehat sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam keluarga. Dalam keluarga yang retak, batasan ini seringkali dilanggar atau tidak jelas. Orang tua mungkin terlalu ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak yang sudah dewasa, atau sebaliknya, terlalu abai dan tidak peduli. Pasangan suami istri mungkin tidak memiliki batasan yang jelas dalam hal privasi atau keuangan, yang bisa memicu konflik dan ketidakpercayaan. Kurangnya batasan yang sehat menciptakan rasa tidak nyaman, terkekang, dan hilangnya rasa hormat antar anggota keluarga.
8. Adanya Rahasia dan Ketidakpercayaan
Kepercayaan adalah fondasi utama dalam setiap hubungan, termasuk hubungan keluarga. Ketika ada rahasia yang disembunyikan atau ketidakpercayaan yang mendalam, fondasi ini akan rapuh. Rahasia bisa berupa perselingkuhan, masalah keuangan yang serius, atau bahkan riwayat kesehatan yang disembunyikan. Ketidakpercayaan bisa muncul akibat pengalaman masa lalu yang menyakitkan atau karena adanya perilaku yang mencurigakan. Adanya rahasia dan ketidakpercayaan menciptakan suasana yang penuh kecurigaan dan ketegangan, membuat anggota keluarga merasa tidak aman dan tidak bisa mengandalkan satu sama lain.
9. Perasaan Kesepian di Tengah Keluarga
Mungkin inilah ironi terbesar dari keluarga yang tampak bahagia namun retak di dalam: perasaan kesepian yang dialami oleh salah satu atau bahkan semua anggota keluarga meskipun mereka tinggal bersama. Mereka mungkin merasa tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami mereka, tidak ada tempat untuk berbagi beban pikiran dan perasaan yang sebenarnya. Mereka merasa terasing dan terputus dari orang-orang yang seharusnya menjadi sumber dukungan dan cinta. Perasaan kesepian ini bisa sangat menyakitkan dan berdampak buruk pada kesehatan mental dan emosional.






