lombokprime.com – Di tengah hiruk pikuk perubahan yang begitu cepat, muncul sebuah fenomena menarik: Gen Z dan Boomer sama-sama ogah jadi pemimpin. Ini bukan sekadar anekdot, lho, melainkan sebuah tren yang mulai tercium di berbagai organisasi. Rasanya seperti ada “malaikat” yang menyuruh mereka menghindar dari kursi kepemimpinan. Tapi, apa sih yang membuat dua generasi ini, dengan karakteristik yang begitu berbeda, justru punya kesamaan dalam hal ini? Mari kita selami lebih dalam, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memahami dan mencari solusi bersama.
Mengapa Jadi Pemimpin Terasa Berat di Zaman Now?
Menjadi seorang pemimpin di era modern ini memang bukan lagi perkara mudah. Dulu, citra pemimpin mungkin identik dengan wibawa, otoritas, dan keputusan final. Namun kini, beban dan ekspektasi yang disematkan pada pundak seorang pemimpin jauh lebih kompleks. Bayangkan saja, seorang pemimpin harus bisa menavigasi disrupsi teknologi, mengelola tim yang multikultural, beradaptasi dengan perubahan pasar yang kilat, dan di saat yang sama, tetap menjaga kesejahteraan mental timnya.
Tugas-tugas ini jelas bukan main-main. Stres, tekanan, dan tanggung jawab yang besar seringkali menjadi bayang-bayang yang membuat posisi kepemimpinan terasa kurang menarik. Apalagi, dunia kerja yang semakin transparan membuat setiap keputusan dan kinerja seorang pemimpin jadi sorotan publik, baik internal maupun eksternal. Salah sedikit, bisa jadi bahan perbincangan. Benar-benar perlu mental baja dan komitmen yang kuat!
Boomer: Kenapa Ogah Jadi Pemimpin Lagi?
Generasi Baby Boomers (lahir sekitar 1946-1964) adalah sosok-sosok yang membangun fondasi banyak perusahaan besar. Mereka tumbuh di era di mana loyalitas pada perusahaan adalah segalanya, dan jenjang karier yang linier adalah norma. Banyak dari mereka sudah merasakan pahit manisnya memimpin, mengarungi badai krisis ekonomi, dan menyaksikan perubahan besar di dunia kerja. Lalu, kenapa sekarang mereka seolah “mundur teratur” dari posisi kepemimpinan?
Salah satu alasannya adalah kelelahan. Setelah puluhan tahun berkarya, banyak Boomers yang merasa sudah waktunya untuk menikmati masa pensiun atau setidaknya, peran yang tidak terlalu memakan energi. Mereka mungkin ingin fokus pada hal-hal yang lebih personal, seperti keluarga, hobi, atau kontribusi sosial tanpa tekanan pekerjaan yang tinggi. Bayangkan saja, setelah puluhan tahun bekerja keras, siapa yang tidak ingin sedikit relaks dan menikmati hasil jerih payah?
Selain itu, ada juga faktor adaptasi. Dunia berubah begitu cepat. Teknologi baru muncul setiap hari, cara kerja menjadi lebih agile, dan tuntutan pasar yang semakin dinamis. Bagi sebagian Boomers, upaya untuk terus beradaptasi dengan kecepatan yang sama seperti generasi muda bisa jadi melelahkan. Mereka mungkin merasa bahwa gaya kepemimpinan yang mereka kuasai selama ini tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman, atau mungkin, mereka merasa “cukup” dengan apa yang sudah mereka berikan. Adanya pemimpin yang lebih muda dengan energi dan ide-ide segar mungkin dianggap lebih cocok untuk menakhodai perusahaan di era digital ini.
Gen Z: Trauma dengan Tekanan Kepemimpinan?
Di sisi lain spektrum, ada Gen Z (lahir sekitar 1997-2012), generasi yang tumbuh besar di era digital, dengan akses informasi tak terbatas dan kesadaran tinggi akan isu-isu sosial. Mereka dikenal sebagai generasi yang menghargai keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan tujuan yang lebih besar dari sekadar pekerjaan. Jadi, kenapa mereka juga enggan mengambil tongkat estafet kepemimpinan?
Fenomena ini bisa jadi berakar dari pengamatan mereka terhadap para pemimpin yang ada saat ini. Gen Z melihat bagaimana tekanan pekerjaan dapat menggerus kesehatan mental, bagaimana jam kerja yang tak terukur bisa menghilangkan waktu pribadi, dan bagaimana tuntutan kinerja bisa jadi begitu kejam. Mereka melihat pemimpin-pemimpin yang kelelahan, stres, dan bahkan “burnout.” Tentu saja, ini bisa menciptakan semacam “trauma” atau keengganan untuk mengikuti jejak yang sama. Mereka tidak ingin terjebak dalam siklus kerja yang mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka.
Gen Z juga sangat menjunjung tinggi otentisitas dan nilai-nilai. Mereka mencari pekerjaan yang punya makna, bukan sekadar gaji besar. Jika posisi kepemimpinan dirasa tidak selaras dengan nilai-nilai personal mereka, atau jika menuntut mereka untuk berkompromi terlalu banyak, mereka akan memilih untuk tidak mengambilnya. Mereka lebih suka bekerja di lingkungan yang mendukung pertumbuhan, inovasi, dan memiliki dampak positif, ketimbang harus memikul beban berat kepemimpinan yang mungkin terasa tidak otentik bagi mereka.






