Kerja Siang Malam Tetap Takut Miskin, Ada Apa dengan Gen Z?

Kerja Siang Malam Tetap Takut Miskin, Ada Apa dengan Gen Z?
Kerja Siang Malam Tetap Takut Miskin, Ada Apa dengan Gen Z? (www.freepik.com)

lombokprime.com – Generasi Z dikenal sebagai generasi paling adaptif dan melek teknologi, namun ironisnya, banyak dari mereka yang bekerja mati-matian tapi tetap takut jatuh miskin. Fenomena ini bukan sekadar kecemasan individual, melainkan cerminan dari dinamika ekonomi dan sosial yang kompleks. Mengapa demikian? Mari kita selami lebih dalam, mencari tahu apa yang sebenarnya menghantui generasi yang sering disebut sebagai “penentu masa depan” ini. Ketakutan finansial ini bukan tanpa alasan, mengingat tantangan yang mereka hadapi dalam dunia yang terus berubah. Artikel ini akan membahas secara tuntas akar masalahnya dan menawarkan perspektif baru untuk mengatasinya.

Realita Ekonomi yang Tidak Ramah Anak Muda

Ketakutan akan kemiskinan di kalangan Gen Z bukan hanya soal gaji kecil atau boros. Ada faktor struktural yang lebih besar yang perlu kita pahami.

Biaya Hidup Melambung Tinggi: Gaji Kalah Cepat

Salah satu penyebab utama kecemasan finansial Gen Z adalah biaya hidup yang terus merangkak naik, jauh melampaui kenaikan upah. Bayangkan saja, harga sewa tempat tinggal di kota-kota besar semakin tidak terjangkau, biaya pendidikan tinggi melambung, dan bahkan kebutuhan pokok pun terasa semakin mahal. Gen Z yang baru memasuki dunia kerja seringkali harus berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka seringkali merasa seperti sedang berlari di treadmill: sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap merasa jalan di tempat.

Pasar Kerja yang Kompetitif dan Tidak Stabil

Dunia kerja saat ini sangat berbeda dengan era orang tua kita. Persaingan kerja semakin ketat, dan banyak posisi yang dulunya dianggap aman kini digantikan oleh otomatisasi atau kecerdasan buatan. Pekerjaan paruh waktu, kontrak, dan freelance semakin umum, yang menawarkan fleksibilitas tapi seringkali tidak memberikan stabilitas finansial jangka panjang atau jaminan sosial. Gen Z harus beradaptasi dengan realitas ini, di mana kepastian kerja menjadi barang mewah. Mereka dipaksa untuk terus meningkatkan keterampilan agar tetap relevan di pasar kerja yang dinamis ini.

Beban Psikologis dan Tekanan Sosial

Selain faktor ekonomi, ada juga dimensi psikologis dan sosial yang memperparah kecemasan finansial Gen Z.

Media Sosial dan Perbandingan Tanpa Henti

Hidup di era media sosial berarti terpapar pada gaya hidup orang lain secara terus-menerus. Kita melihat teman-teman sebaya yang “sukses” liburan ke luar negeri, membeli barang-barang mahal, atau memiliki karier impian. Perbandingan sosial ini menciptakan tekanan tak terlihat yang membuat Gen Z merasa harus mengejar standar hidup tertentu, bahkan jika itu berarti mengorbankan keamanan finansial jangka panjang mereka. FOMO (Fear of Missing Out) bukan hanya tentang acara sosial, tapi juga tentang pencapaian finansial.

Ekspektasi Orang Tua dan Lingkungan

Orang tua, dengan segala niat baiknya, seringkali menaruh ekspektasi tinggi pada anak-anak mereka. Mereka mungkin berharap Gen Z bisa mencapai stabilitas finansial yang lebih baik dari mereka. Lingkungan sekitar juga bisa memberikan tekanan, terutama jika ada pandangan bahwa “sukses” itu diukur dari berapa banyak uang yang kita miliki. Tekanan ini bisa membuat Gen Z merasa harus bekerja lebih keras lagi, bahkan jika itu berarti mengorbankan keseimbangan hidup dan kesehatan mental.

Paradoks Produktivitas: Kerja Keras Bukan Jaminan

Gen Z adalah generasi yang dikenal sangat ambisius dan mau bekerja keras. Mereka seringkali berani mengambil side hustle atau pekerjaan sampingan di luar jam kerja utama. Namun, ada paradoks yang menyedihkan: semakin keras mereka bekerja, semakin besar pula kekhawatiran mereka akan kemiskinan. Mengapa demikian?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *