Millennial Diperas Sistem? Baca Ini Biar Paham!

Millennial Diperas Sistem? Baca Ini Biar Paham!
Millennial Diperas Sistem? Baca Ini Biar Paham! (www.freepik.com)

lombokprime.com – Millennial lelah tapi tak bisa libur adalah fenomena yang begitu nyata, dan bagaimana kita bisa menyikapinya dengan bijak. Rasanya seperti lingkaran setan, ya? Kita merasa penat luar biasa, butuh jeda, tapi kok ya susah banget buat benar-benar “lepas” dari rutinitas. Padahal, liburan itu bukan cuma soal senang-senang, lho. Ini tentang mengisi ulang energi, menjernihkan pikiran, dan kadang, menemukan kembali semangat yang sempat hilang ditelan kesibukan.

Mengapa Millennial Lelah Tapi Tak Bisa Libur? Sebuah Dilema Generasi

Pernah merasa begini? Akhir pekan tiba, bukannya merasa lega, malah bertambah lelah. Atau sudah niat liburan, tapi selalu ada saja halangan, entah itu pekerjaan yang menumpuk, keuangan yang pas-pasan, atau bahkan perasaan bersalah jika meninggalkan tanggung jawab. Fenomena millennial lelah tapi tak bisa libur ini bukan sekadar keluhan pribadi, tapi sebuah cerminan dari dinamika sosial dan ekonomi yang kita hadapi saat ini.

Generasi millennial, yang kini berada di puncak usia produktif, dihadapkan pada tuntutan yang cukup kompleks. Dulu, mungkin orang tua kita punya jalur karier yang lebih linier. Sekarang? Kita dituntut untuk selalu adaptif, multitasking, punya banyak skill, dan tak jarang, bekerja lebih dari jam kantor normal. Belum lagi tekanan untuk mencapai kesuksesan finansial, membeli rumah, atau sekadar memenuhi gaya hidup yang seringkali terekspos di media sosial. Semua ini menciptakan beban mental dan fisik yang luar biasa, membuat kita rentan terhadap kelelahan kronis.

1. Budaya “Selalu On” dan FOMO: Musuh Liburan Sejati

Salah satu pemicu utama kelelahan millennial adalah budaya “selalu on”. Teknologi yang seharusnya memudahkan, justru membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Notifikasi email yang masuk di tengah malam, pesan dari rekan kerja saat akhir pekan, atau keharusan untuk selalu standby karena takut ketinggalan informasi penting. Ini semua mengikis waktu istirahat kita secara perlahan tapi pasti.

Ditambah lagi, ada fenomena Fear Of Missing Out (FOMO). Kita khawatir jika mengambil cuti, akan kehilangan kesempatan, proyek penting, atau bahkan promosi. Perasaan ini diperparah dengan media sosial yang tak henti-hentinya menampilkan “kehidupan ideal” orang lain. Seolah-olah, semua orang sibuk, produktif, dan tanpa henti meraih pencapaian. Padahal, di balik layar, mungkin mereka juga merasakan hal yang sama: lelah, tapi takut berhenti. Ini menciptakan siklus yang tak sehat, di mana kita terus mendorong diri, bahkan saat tubuh dan pikiran sudah merengek minta istirahat.

2. Beban Finansial yang Menjepit: Liburan Jadi Kemewahan?

Mari kita jujur, salah satu alasan paling klise mengapa kita sulit liburan adalah masalah keuangan. Inflasi yang terus meningkat, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan pendapatan yang seringkali terasa stagnan, membuat kita harus memutar otak lebih keras. Setelah semua pengeluaran bulanan terpenuhi, kadang sisa uangnya sudah tidak cukup untuk sekadar jalan-jalan santai, apalagi liburan panjang.

Perasaan ini diperparah dengan ekspektasi sosial. Liburan seringkali digambarkan sebagai pengalaman yang mewah, membutuhkan biaya besar untuk tiket pesawat, akomodasi hotel bintang lima, dan kuliner mahal. Padahal, liburan tidak harus selalu begitu. Namun, persepsi ini membuat kita merasa bersalah jika tidak bisa memenuhi standar tersebut, akhirnya memilih untuk tidak libur sama sekali daripada liburan yang “biasa-biasa saja”. Ini adalah perangkap yang seringkali membuat kita semakin terperosok dalam lingkaran kelelahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *