Perfeksionisme Cuma Bikin Sakit Jiwa, Serius!

Perfeksionisme Cuma Bikin Sakit Jiwa, Serius!
Perfeksionisme Cuma Bikin Sakit Jiwa, Serius! (www.freepik.com)

Hidup Sesuai Ekspektasi Orang Lain: Jebakan Sosial Media dan Lingkungan

Di era digital ini, media sosial seringkali menjadi panggung bagi kita untuk menampilkan sisi terbaik diri. Tanpa sadar, kita jadi sering membandingkan diri dengan orang lain dan merasa harus hidup sesuai ekspektasi yang diciptakan oleh lingkungan atau bahkan ilusi di media sosial. Memaksakan diri untuk mengikuti standar orang lain, baik dalam hal karier, gaya hidup, atau bahkan pencapaian pribadi, adalah resep yang pasti untuk kehampaan dan kelelahan mental.

Kita mungkin merasa perlu memiliki barang-barang mewah tertentu, mencapai jabatan tertentu di usia muda, atau mengikuti tren gaya hidup tertentu agar dianggap “sukses” atau “keren”. Padahal, definisi sukses dan kebahagiaan itu sangat personal. Ketika kita hidup berdasarkan ekspektasi orang lain, kita kehilangan autentisitas diri. Kita menjadi karakter yang diciptakan untuk orang lain, bukan diri kita yang sejati. Ini adalah perjuangan yang tak ada habisnya, karena ekspektasi orang lain akan selalu berubah dan tidak akan pernah sepenuhnya terpuaskan. Mulailah fokus pada apa yang benar-benar membuatmu bahagia, terlepas dari apa yang orang lain pikirkan. Kenali nilai-nilai dan impianmu sendiri, dan jalani hidup yang sejalan dengan itu.

Terlalu Banyak Multitasking dan Bekerja Non-Stop: Kultur “Selalu Sibuk”

Ada semacam kebanggaan tersendiri di masyarakat kita saat ini dengan istilah “sibuk”. Seolah-olah, semakin sibuk seseorang, semakin produktif dan sukses dirinya. Akibatnya, kita sering memaksakan diri untuk melakukan banyak hal sekaligus (multitasking) dan bekerja non-stop, bahkan sampai mengorbankan waktu istirahat dan tidur. Kultur “selalu sibuk” ini sebenarnya sangat menguras mental dan justru menurunkan produktivitas dalam jangka panjang.

Otak manusia tidak dirancang untuk multitasking secara efektif. Ketika kita mencoba melakukan beberapa tugas sekaligus, otak kita hanya beralih fokus dengan cepat, bukan benar-benar melakukan semuanya bersamaan. Hal ini menyebabkan stres, kelelahan kognitif, dan peningkatan risiko kesalahan. Kurangnya waktu istirahat juga menghambat kemampuan otak untuk memulihkan diri dan memproses informasi, yang pada akhirnya berdampak buruk pada konsentrasi, kreativitas, dan pengambilan keputusan. Penting untuk diingat bahwa istirahat bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Berikan dirimu waktu untuk bernapas, bersantai, dan membiarkan pikiranmu beristirahat. Fokus pada satu tugas pada satu waktu, dan nikmati prosesnya. Kualitas lebih penting daripada kuantitas.

Memendam Emosi dan Berpura-Pura Kuat: Ketika Kelemahan Dianggap Tabu

Sejak kecil, mungkin kita sering diajarkan untuk “menjadi kuat”, “jangan cengeng”, atau “jangan menunjukkan kelemahan”. Akibatnya, banyak dari kita yang terbiasa memendam emosi, berpura-pura baik-baik saja, bahkan ketika di dalam diri kita sedang bergejolak. Memaksakan diri untuk selalu terlihat kuat dan tidak menunjukkan kerentanan adalah salah satu hal yang paling berbahaya bagi kesehatan mental.

Emosi adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Baik itu kesedihan, kemarahan, kekecewaan, atau ketakutan, semua emosi memiliki fungsinya masing-masing. Ketika kita memendamnya, emosi-emosi ini tidak hilang begitu saja; mereka menumpuk dan bisa meledak di kemudian hari dalam bentuk yang tidak sehat, seperti kecemasan kronis, depresi, atau bahkan masalah fisik. Berpura-pura kuat sepanjang waktu juga membuat kita merasa terisolasi. Kita merasa tidak ada yang bisa memahami apa yang kita rasakan, sehingga kita enggan mencari bantuan atau berbagi beban. Ingatlah, meminta bantuan atau menunjukkan kerentanan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Mengakui bahwa kita tidak selalu baik-baik saja adalah langkah pertama menuju penyembuhan. Berbicaralah dengan orang yang kamu percaya, atau pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional jika kamu merasa kesulitan mengelola emosi. Izinkan dirimu untuk merasakan, memproses, dan melepaskan emosi tanpa rasa bersalah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *