lombokprime.com – Mari kita selami lebih dalam mengapa anak zaman sekarang lebih cepat burnout dan bagaimana kita bisa menghadapinya bersama. Fenomena burnout atau kelelahan ekstrem ini bukan lagi monopir orang dewasa yang bekerja, namun juga menjangkiti generasi muda, bahkan sejak usia sekolah. Mari kita telaah bersama akar permasalahannya dan temukan solusi yang relevan.
Kenapa Burnout Jadi Isu Serius di Kalangan Anak Muda?
Mungkin kamu bertanya-tanya, “Emang burnout itu cuma buat orang kerja kantoran aja, kan?” Sayangnya, tidak. Burnout pada anak muda adalah realita yang semakin nyata. Gejala burnout bukan hanya sekadar rasa lelah fisik, melainkan juga kelelahan mental dan emosional yang mendalam. Mereka mungkin merasa kehilangan motivasi, gampang marah, sulit konsentrasi, atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial. Ini bukan sekadar “mager” atau malas biasa, melainkan kondisi serius yang membutuhkan perhatian.
Gejala ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari penurunan prestasi akademik, hilangnya minat pada hobi yang tadinya disukai, hingga masalah tidur dan nafsu makan. Bayangkan saja, seorang anak yang biasanya ceria dan bersemangat, tiba-tiba jadi pendiam dan sering mengeluh lelah. Ini bisa jadi pertanda awal burnout.
Tekanan yang Melingkupi Generasi Z dan Alpha
Generasi Z dan Alpha tumbuh di era yang serba cepat dan penuh tekanan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka dihadapkan pada tantangan yang unik. Tekanan ini bukan hanya datang dari satu arah, melainkan dari berbagai sisi kehidupan.
Ekspektasi Akademik yang Semakin Tinggi
Sejak dini, anak-anak sudah dituntut untuk berprestasi di sekolah. Kurikulum yang padat, persaingan ketat untuk masuk sekolah atau universitas favorit, serta tuntutan nilai sempurna, semuanya menciptakan beban mental yang signifikan. Les tambahan di sana-sini, tugas sekolah yang menumpuk, belum lagi ujian-ujian yang tak ada habisnya. Semua ini seolah memaksa mereka untuk selalu berlari tanpa henti, mengejar standar yang terkadang tidak realistis.
Pernahkah kamu merasa harus selalu menjadi yang terbaik di kelas? Atau orang tuamu berharap kamu masuk universitas impian mereka? Tekanan seperti ini, meskipun bertujuan baik, bisa jadi pedang bermata dua. Anak-anak merasa bahwa nilai dan prestasi akademik adalah satu-satunya ukuran keberhasilan mereka, sehingga ketika ada sedikit kegagalan, rasa frustrasi dan kekecewaan bisa memicu kelelahan mental.
Lingkungan Sosial dan Tekanan Sebaya
Media sosial, di satu sisi, memang mendekatkan kita dengan teman dan informasi. Namun, di sisi lain, ia juga menjadi panggung kompetisi yang tidak disadari. Anak-anak zaman sekarang terpapar pada gaya hidup “sempurna” yang ditampilkan oleh teman sebaya atau influencer di media sosial. Mereka melihat teman-teman mereka liburan ke tempat-tempat indah, punya barang-barang baru, atau memiliki pencapaian luar biasa. Tanpa disadari, ini bisa menimbulkan perbandingan dan rasa tidak cukup.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) juga sangat kuat di kalangan anak muda. Mereka merasa harus selalu terhubung, selalu mengikuti tren, dan tidak boleh ketinggalan momen. Akibatnya, mereka merasa harus selalu online, selalu aktif di media sosial, yang pada akhirnya menguras energi mental. Tekanan untuk diterima dalam kelompok pertemanan, mengikuti tren busana, atau memiliki barang tertentu, juga bisa menjadi beban tersendiri.
Peran Teknologi dan Paparan Informasi Berlebihan
Hidup di era digital memang menyenangkan, tapi juga ada sisi gelapnya. Paparan informasi yang berlebihan, notifikasi yang tiada henti, dan tuntutan untuk selalu update bisa sangat menguras energi. Anak-anak zaman sekarang tumbuh dengan smartphone di tangan, memungkinkan mereka terhubung 24/7 dengan dunia maya.
Waktu layar yang berlebihan dapat mengganggu pola tidur, mengurangi waktu bermain di luar ruangan, dan bahkan memengaruhi kemampuan mereka untuk fokus. Belum lagi konten-konten yang tidak sesuai usia, berita negatif, atau cyberbullying yang bisa mereka temui di dunia maya. Semua ini menambah beban mental yang harus mereka pikul. Otak mereka terus-menerus bekerja memproses informasi, tanpa jeda yang cukup.






