lombokprime.com – Generasi Millennial, seringkali disebut sebagai generasi emas yang dibesarkan untuk sukses, menghadapi beban psikologis yang unik dan tak jarang tersembunyi di balik ekspektasi tinggi. Sejak kecil, kita dididik untuk menjadi yang terbaik, didorong untuk meraih impian setinggi langit, dan diharapkan mampu menghadapi setiap tantangan dengan ketangguhan. Namun, apa jadinya ketika ekspektasi ini berujung pada tekanan batin yang tak terlihat? Mari kita selami lebih dalam kompleksitas dunia mental Millennial, dan bagaimana kita bisa menemukan jalan keluar dari labirin tekanan ini.
Terjebak dalam Pusaran Ekspektasi: Ketika Sukses Jadi Beban
Sejak era digital mulai merambah, kita semua terhubung satu sama lain, dan ini membawa dampak besar pada bagaimana kita memandang kesuksesan. Dulu, definisi sukses mungkin lebih sederhana, terkait dengan pekerjaan stabil dan keluarga yang bahagia. Sekarang, dengan derasnya informasi di media sosial, kita disuguhi “kesuksesan” dalam berbagai bentuk yang seringkali jauh dari realitas. Mulai dari karir yang melesat, liburan mewah, hingga gaya hidup glamor, semua seolah menjadi standar baru yang harus dicapai.
Tekanan ini bukan hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam diri sendiri. Kita merasa harus selalu tampil sempurna, baik di dunia nyata maupun di ranah digital. Perbandingan menjadi tak terhindarkan, dan seringkali kita merasa tertinggal dari teman-teman sebaya yang “lebih sukses.” Ironisnya, semakin kita berusaha mencapai standar-standar ini, semakin besar pula beban yang kita rasakan. Ini bukan tentang kurangnya ambisi, justru sebaliknya, kita punya ambisi yang melimpah ruah, namun tanpa sadar ambisi itu berbalik menjadi beban.
Era “Grind Culture”: Antara Produktivitas dan Kelelahan Mental
Konsep grind culture atau budaya kerja keras yang berlebihan, seolah menjadi mantra baru bagi banyak Millennial. Ada keyakinan bahwa untuk mencapai puncak, kita harus bekerja tanpa henti, mengorbankan waktu istirahat, bahkan kesehatan mental demi produktivitas maksimal. Tentu, kerja keras itu penting, tapi ada batasan yang harus kita pahami. Ketika kerja keras berubah menjadi paksaan, dan kita merasa bersalah saat mengambil waktu istirahat, di situlah masalah mulai muncul.
Kita sering mendengar cerita inspiratif tentang startup yang sukses besar, atau individu yang meraih jutaan dalam waktu singkat. Cerita-cerita ini, meskipun memotivasi, juga bisa menciptakan standar yang tidak realistis. Kita merasa harus mengikuti jejak mereka, tanpa mempertimbangkan bahwa setiap perjalanan itu unik, dan setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda. Akibatnya, kita terus mendorong diri hingga batas, mengabaikan tanda-tanda kelelahan fisik dan mental.
Fenomena “Quarter-Life Crisis” dan Pencarian Makna
Bukan rahasia lagi bahwa banyak Millennial mengalami apa yang disebut quarter-life crisis. Di usia 20-an atau awal 30-an, ketika seharusnya kita sedang menikmati puncak produktivitas, justru banyak dari kita yang merasa kebingungan, cemas, dan mempertanyakan arah hidup. Ini bukan sekadar fase “galau” biasa, melainkan periode yang intens di mana kita berusaha mencari makna di tengah lautan pilihan dan ekspektasi.
Pencarian makna ini seringkali diperparah dengan perubahan cepat di dunia kerja. Pekerjaan yang dulu dianggap stabil kini bisa dengan mudah digantikan oleh teknologi atau pergeseran pasar. Tekanan untuk terus beradaptasi, menguasai keterampilan baru, dan “pivot” karir menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kita. Hal ini bisa memicu perasaan tidak aman dan ketidakpastian, menambah daftar panjang beban psikologis yang harus ditanggung.






